Selasa, 02 Desember 2014

Manusia dalam Terminologi al-Qur'an



Al-Qur’an sebagai pedoman hidup bagi umat Islam secara jelas mengetengahkan konsep manusia, menurut Muin Salim pengungkapan manusia dalam al-Qur’an melalui dua pendekatan. Pertama, dengan menelusuri arti kata-kata yang digunakan al-Quran untuk menunjuk makna manusia (kajian terminologi). Kedua, menelusuri pernyataan al-Qur’an yang berhubungan dengan kedudukan manusia dan potensi yang dimilikinya.[1]

Secara terminologis, ungkapan al-Qur’an untuk menunjukkan konsep manusia terdiri atas tiga kategori, yaitu: a) al-insan, al-in’s, unas, al-nas, anasiy dan insiy; b) al-basyar; dan; c) bani adam “anak adam ” dan durriyyat adam “keturunan adam ”.[2]  Menurut M. Dawam Raharjo istilah manusia yang diungkapkan dalam al -Qur’an seperti basyar, insan, unas, insiy, ‘imru, rajul atau yang mengandung pengertian perempuan seperti imra’ah, nisa’ atau niswah atau dalam ciri personalitas, seperti al-atqa, al-abrar, atau ulul-albab, juga sebagai bagian kelompok sosial seperti al-asyqa, dzul-qurba, al-dhu’afa atau al-mustad’afin yang semuanya mengandung petunjuk sebagai manusia dalam hakekatnya dan manusia dalam bentuk kongkrit.[3] Meskipun demikian untuk memahami secara mendasar dan pada umumnya ada tiga kata yang sering digunakan Al-Qur’an untuk merujuk kepada arti manusia, yaitu insan atau ins atau al-nas atau unas, dan kata basyar serta kata bani adam atau durriyat adam .[4]
Meskipun ketiga kata tersebut menunjukkan pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada uraian berikut :
1.      Term Al-Basyar
Penamaan manusia dengan kata al-Basyar dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat.[5] Secara etimologi al-basyar berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Penamaan ini menunjukkan makna bahwa secara biologis yang mendominasi manusia adalah pada kulitnya, dibanding rambut atau bulunya.[6]  Pada aspek ini terlihat perbedaan umum biologis manusia dengan hewan yang lebih didominasi bulu atau rambut.
Al-Basyar, juga dapat diartikan mulasamah, yaitu persentuhan kulit antara laki-laki dengan perempuan.[7] Makna etimologi dapat dipahami adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Penunjukan kata al-basyar ditujukan Allah kepada seluruh manusia tanpa terkecuali, termasuk eksistensi Nabi dan Rasul.[8] Eksistensinya memiliki kesamaan dengan manusia pada umumnya, akan tetapi juga memiliki titik perbedaan khusus bila dibanding dengan manusia lainnya.
Adapun titik perbedaan tersebut dinyatakan al-Qur’an dengan adanya wahyu dan tugas kenabian yang disandang para Nabi dan Rasul. Sedangkan aspek yang lainnya dari mereka adalah kesamaan dengan manusia lainnya. Hanya saja kepada mereka diberikan wahyu, sedangkan kepada manusia umumnya tidak diberikan wahyu. Firman Allah swt.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Artinya : Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al Kahfi : 110).

Menurut M. Quraish Shihab, kata basyar terambil dari akar kata yang pada umumnya berarti menampakkan sesuatu dengan baik dan indah. Dari kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamakan basyarah karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang lainnya. Al-Qur’an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan 1 kali dalam bentuk musanna (dua) untuk menunjukkan manusia dari aspek lahiriah serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.[9]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian manusia dengan menggunakan kata basyar, artinya anak keturunan adam banu adam , mahkluk fisik atau biologis yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang menyebut pengertian basyar mencakup anak keturunan adam secara keseluruhan.[10]  Al-Basyar mengandung pengertian bahwa manusia akan berketurunan yaitu mengalami proses reproduksi seksual dan senantiasa berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya, memerlukan ruang dan waktu, serta tunduk terhadap hukum alamiahnya, baik yang berupa sunnatullah (sosial kemasyarakatan), maupun takdir Allah (hukum alam). Semuanya itu merupakan konsekuensi logis dari proses pemenuhan kebutuhan tersebut. Untuk itu, Allah swt. memberikan kebebasan dan kekuatan kepada manusia sesuai dengan batas kebebasan dan potensi yang dimilikinya untuk mengelola dan memanfaatkan alam semesta, sebagai salah satu tugas kekhal³fahannya di muka bumi.

2.      Term Al-Insan
Adapun penamaan manusia dengan kata al-insan yang berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat.[11] Secara etimologi, al-insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa. Menurut Quraish Shihab, manusia dalam al-Qur’an disebut dengan al-Insan. Kata insan terambil dari kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang al-Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (yang berarti lupa), atau nasa-yansu (yang berarti bergoncang). Kata insan digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitas, jiwa dan raga. Manusia berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasannya.[12]
Adapun kata al-Insan digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua aspek tersebut dengan berbagai potensi yang dimilikinya, mengantarkan manusia sebagai makhluk Allah yang unik dan istimewa sempurna, dan memiliki diferensiasi individual antara satu dengan yang lain, dan sebagai makhluk dinamis, sehingga mampu menyandang predikat khal³fah Allah di muka bumi.
Perpaduan antara aspek fisik dan psikis telah membantu manusia untuk mengekspresikan dimensi al-insan dan al-bayan, yaitu sebagai makhluk berbudaya yang mampu berbicara, mengetahui baik dan buruk, dan lain sebagainya.[13] Dengan kemampuan ini, manusia akan mampu mengemban amanah Allah di muka bumi secara utuh, yakni akan dapat membentuk dan mengembangkan diri dan komunitasnya sesuai dengan nilai-nilai insaniah yang memiliki nuansa Ilahiah dan hanif. Integritas ini akan tergambar pada nilai-nilai iman dan bentuk amaliahnya.[14] Dengan kemampuan ini,. Namun demikian, manusia sering lalai bahkan melupakan nilai-nilai insaniah yang dimilikinya dengan berbuat berbagai bentuk mafsadah (kerusakan) di muka bumi.
Kata al-insan juga digunakan dalam al-Qur’an untuk menunjukkan proses kejadian manusia sesudah ²dam. Kejadiannya mengalami proses yang bertahap secara dinamis dan sempurna di dalam di dalam rahim. (QS. al-Nahl (16): 78; QS. al-Mukmin-n (23): 12-14. Penggunaan kata al-insan dalam ayat ini mengandung dua makna, yaitu: Pertama, makna proses biologis, yaitu berasal dari saripati tanah melalui makanan yang dimakan manusia sampai pada proses pembuahan. Kedua, makna proses psikologis (pendekatan spiritual), yaitu proses ditiupkan ruh-Nya pada diri manusia, berikut berbagai potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia.
Makna pertama mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya merupakan dinamis yang berproses dan tidak lepas dari pengaruh alam serta kebutuhan yang menyangkut dengannya. Keduanya saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Sedangkan makna kedua mengisyaratkan bahwa, ketika manusia tidak bisa melepaskan diri dari kebutuhan materi dan berupaya untuk memenuhinya, manusia juga dituntut untuk sadar dan tidak melupakan tujuan akhirnya, yaitu kebutuhan immateri (spiritual). Untuk itu manusia diperintahkan untuk senantiasa mengarahkan seluruh aspek amaliahnya pada realitas ketundukan pada Allah, tanpa batas, tanpa cacat, dan tanpa akhir. Sikap yang demikian akan mendorong dan menjadikannya untuk cenderung berbuat kebaikan dan ketundukan pada ajaran Tuhannya.[15]
Menurut Aisyah Bintu Syati, bahwa term al-insan yang terdapat dalam al-Qur’an menunjukkan kepada ketinggian derajat manusia yang membuatnya layak menjadi khal³fah di bumi dan mampu memikul beban berat dan aktif (tugas keagamaan) dan amanah kehidupan. Hanya manusialah yang dibekali keistimewaan ilmu (punya ilmu pengetahuan), al-bayan (pandai bicara), al-‘aql (mampu berpikir), al-tamyiz (mampu menerapkan dan mengambil keputusan) sehingga siap menghadapi ujian, memilih yang baik, mengatasi kesesatan dan berbagai persoalan hidup yang mengakibatkan kedudukan dan derajatnya lebih dari derajat dan martabat berbagai organisme dan makhluk-makhluk lainnya.[16]

3.      Term Al-Nas
Kata al-Nas dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat.[17] Kata al-nas menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk hidup dan sosial, secara keseluruhan, tanpa melihat status keimanan atau kekafirannya.[18] Kata al-Nas dipakai al-Qur’an untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan (aktivitas) untuk mengembangkan kehidupannya.[19]
Dalam menunjuk makna manusia, kata al-nas lebih bersifat umum bila dibandingkan dengan kata al-Insan. Keumumannya tersebut dapat di lihat dari penekanan makna yang dikandungnya. Kata al-Nas menunjuk manusia sebagai makhluk sosial dan kebanyakan digambarkan sebagai kelompok manusia tertentu yang sering melakukan mafsadah dan pengisi neraka, di samping iblis. Hal ini terlihat pada firman Allah QS. al-Baqarah (2): 24.
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
Terjemahnya : Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.

Manusia merupakan satu hakekat yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi material (jasad) dan dimensi immaterial (ruh, jiwa, akal dan sebagainya).
ذَلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ (6) الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ (7) ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ (8) ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ

Artinya : Itulah Tuhan yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, Dialah yang telah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, dan memulai menciptakan manusia dari segumpal tanah, dan Dia ciptakan keturunannya dari jenis saripati berupa air yang hina, lalu Dia sempurnakan penciptaannya, kemudian Dia tiupkan ke dalam tubuhnya ruh (ciptaan) Nya, dan Dia ciptakan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati, namun kamu sedikit sekali bersyukur” (QS. al-Sajadah, 32: 6-9).

Unsur jasad akan hancur dengan kematian, sedangkan unsur jiwa akan tetap dan bangkit kembali pada hari kiamat. Sebagaimana Firman-Nya :
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ (78) قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ

Artinya :“Manusia itu bertanya, siapa pula yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang sudah hancur itu? Katakanlah, yang menghidupkannya adalah (Tuhan) yang telah menghidupkannya untuk pertama kali, dan Dia Maha Mengetahui akan setiap ciptaan” (QS. Yas³n, 36: 78-79).

Manusia adalah makhluk yang mulia, bahkan lebih mulia dari malaikat. Setelah Allah menciptakan manusia, Allah memerintahkan semua malaikat untuk memberi hormat sebagai tanda memuliakannya. Firman-Nya :
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ
Artinya :“Maka ketika telah Aku sempurnakan ia dan Aku tiupkan ruh kepadanya, maka beri hormatlah kepadanya dengan bersujud” (QS. al-Hijr, 15: 29).

Kemudian, Kemuliaan manusia ditegaskan dengan jelas dalam Firman-Nya :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Artinya : “Sesungguhnya kami telah muliakan anak ²dam, dan Kami angkat mereka dari di darat dan di laut, dan Kami beri rezeki mereka dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dari kebanyakan mahkluk kami” (QS. al-Isra’, 17: 70).

Manusia pada dasarnya mempunyai sifat fitrah. Konsep fitrah menunjukkan bahwa manusia membawa sifat dasar kebajikan dengan potensi iman (kepercayaan) terhadap keesaan Allah (tauhid). Sifat dasar atau fitrah yang terdiri dari potensi tauhid itu menjadi landasan semua kebajikan dalam perilaku manusia. Dengan kata lain, manusia diciptakan Allah dengan sifat dasar baik berlandaskan tauhid.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Artinya :“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian dari jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi ...” (QS. al-A’raf, 7: 172).

Manusia sebagai hamba Allah telah diposisikan sebagai khalifah di muka bumi ini, sebagai wakil Tuhan dalam mengatur dan memakmurkan kehidupan di planet ini. Dengan demikian manusia oleh Allah di samping dianggap mampu untuk melaksanakan misi ini, juga dipercaya dapat melakukan dengan baik. Dalam kehidupan ini manusia telah dibekali dengan berbagai potensi diri atau fitrah untuk dikembangkan dalam proses pendidikan. Dengan pengembangan diri itu dia akan mempunyai kemampuan beradaptasi dengan konteks lingkungannya dan memberdayakannya sehingga lingkungannya dapat memberikan support bagi kehidupannya.
Dengan demikian, makna manusia dalam al-Qur’an dengan istilah al-basyar, al-insan, al-nas dan bani adam mencerminkan karakteristik dan kesempurnaan penciptaan Allah terhadap makhluk manusia, bukan saja sebagai makhluk biologis dan psikologis melainkan juga sebagai makhluk religius, makhluk sosial dan makhluk bermoral serta makhluk kultural yang kesemuanya mencerminkan kelebihan dan keistimewaan manusia daripada makhluk-makhluk Tuhan lainnya.
Manusia diciptakan  oleh Allah swt. selain sebagai hamba juga sebagai penguasa (khalifah) di atas bumi. Sebagai hamba dan khalifah, manusia telah dibekali kemampuan jasmaniah (fisiologis) dan rohaniah (mental psikologis) yang dapat ditumbuhkembangkan seoptimal mungkin, sehingga menjadi alat yang berdaya guna untuk menjalankan tugas pokoknya di atas dunia ini. Namun proses menumbuh kembangkan kemampuan manusia melalui pendidikan tidaklah menjamin akan terbentuknya watak dan bakat seseorang untuk menjadi baik sesuai kehendak pencipta-Nya, karena Allah telah menggariskan bahwa di dalam diri manusia terdapat kecenderungan dua arah, yaitu ke arah perbuatan fisik yang menyimpang dari peraturan dan ke arah ketakwaan yaitu menaati peraturan atau perintah Allah swt.[20]
Tugas Manusia sebagai hamba Allah (‘abd Allah), dituntut untuk mengabdi secara totalitas kepada Allah SWT. dengan penuh keikhlasan. Islam menggariskan bahwa seluruh akifitas seorang hamba selama ia hidup di alam semesta ini harus bernilai ibadah, ditujukan kepada Allah SWT dalam rangka mendapatkan redho-Nya[21].
Musa Asy’arie[22] mengatakan bahwa esensi ‘abd adalah ketaatan, ketundukan, kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak diberikan kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamiah yang senantiasa belaku bagi-Nya. Ia terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang menjadi kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari setiap ciptaa-Nya, ia tergantung pada sesamanya, hidup dan matinya menjadi bagian dari segala yang hidup dan mati. Sebagai hamba Allah manusia tidak bias terlepas dari kekuasaan-Nya, karena manusia mempunyai fitrah (potensi) bergama. Yang mengakui adanya kekuatan diluar dirinya.
Pengakuan manusia akan adanya Tuhan secara naluriah menurut Al- Qur’an disebabkan karena telah terjadi dialog antara Allah dan roh manusia tak kala ia berada di alam arwah. Dengan demikian kepercayaan dan ketergantungan manusia dengan Tuhannya, tidak bisa dipisahan dari kehidupan manusia itu sendiri. Karena manusia telah berikrar sejak alam mitsak bahwa Allah SWT. adalah Tuhanya.
Dan manusia sebagai khalifah Allah fi al-ardh. Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai pengemban amanat. Diantara amanat yang dibebankan kepada manusia memakmurkan kehidupan di bumi. Karena amat mulianya manusia mengeban amanat Allah, maka manusia diberi kedudukan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Salah satu aplikasi dari kekhalifahan manusia di muka bumi adalah pentingnya kemampuan untuk memahami alam semesta tempat ia hidup dan menjalankan tugasnya. Tanggung jawab moral manusia untuk mengelola dan memmfaatkan seluruh sumber yang tersedia di alam ini untuk memenuhi keperluan hidupnya. Manusia diharapkan mampu mempertahankan martabatnya sebagai Khalifah Allah yang hanya tunduk kepada-Nya dan tidak akan tunduk kepada alam semesta[23].
Kata ( فطرة ) diambil dari kata fathara yang berarti mencipta. Kemudian ditambahkan bahwa fitrah adalah “Mencipta sesuatu pertama kali tanpa ada contoh sebelumnya”. Dengan demikian kata tersebut dapat juga dipahami dalam arti asal kejadian, atau bawaan sejak lahir. Para ulama berbeda pendapat tentang maksud kata fitrah pada ayat ini. Ada yang berpendapat bahwa fitrah yang dimaksud  adalah keyakinan tentang keesaan Allah swt, yang ditanamkan Allah dalam diri setiap insan.[24]
Kata Fitrah terulang sebanyak 28 kali dalam al Qur’an di surat dan ayat yang berbeda, 14 kali diantaranya berbicara tentang penciptaan manusia[25]. Menurut Tedi Priatna[26], fitrah mengandung pengertian asal kejadian, kesucian, dan agama yang benar.  pengertian dalam konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia. Seperti yang tersurat dalam Surat Ar-Rum    ayat 30:
Artinya :“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (pilihlah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”2 (Q.S. Ar-Rum: 30)                      
Abdul Mujib Muhaimin[27], menjelaskan pemaknaan fitrah, yaitu ; Pertama, Fitrah yang berarti suci (thuhr), yaitu kesucian jasmani dan rohani. Kedua, Fitrah Islam (dienul Islam), pemaknaan tersebut menunjukan bahwa tujuan diciptakanya manusia adalah penyerahan diri kepada sang pencipta, tanpa beragama Islam berarti telah keluar dari fitrahnya. Ketiga, Fitrah mengakui keesaan Allah (at-tauhid), manusia semenja lahir membawa potensi tauhid. yaitu kecenderungan manusia untuk meng-Esa-kan Tuhan dan berusaha terus untuk mencari ketauhidan tersebut. Keempat, Fitrah selamat (al salamah), fitrah secara potensial berati keselamatan dalam proses penciptaan, watak dan strukturnya. Iman dan kufurnya baru tumbuh setelah manusia mencapai aqil balig. Kelima, Fitrah kesanggupan atau predisposisi untuk menerima kebenaran. Secara fitriah manusia lahir cenderung berusaha mencari dan menerima kebenaran, walaupun pencarian itu masih tersembunyi di dalam lubuk hati yang paling dalam. Adakalanya manusia telah menemukan kebenaran, karena ada faktor ektrnal yang mempengryhunya, maka ia berpaling dari kebenaran. Keenam,  Fitrah ikhlas. Manusia lahir membawa sifat-sifat yang baik, diantara sifat itu adalah ketulusan dan kemurnian dalam melakukan kreasi. Pemaknaan tulus ini merupakan konsekwensi fitrah manusia yang harus menjemput agama tauhid. Dengan bertauhid berati seseorang telah menghambakan diri kepada dzat yang mutlak Allah Yang aha kuasa sekaligus menghilangkan segala dominasi yang temporal atau nisbi. Ketujuah,  Fitrah dasar manusia untuk beribadah dan ma’rifatullah. (mengenal Alah).  Dalam pemaknaan ini, aktivitas manusia dan pengenalan manusia kepada Allah merupakan tolak ukur dan indikator pemaknaan kefitrahanya. Dan kedelapan, Fitrah  tabiat alami yang dimiliki manusia  (human nature). Watak atau tabiat merupakan daya dari daya nafs kulliyun yang menggerakan jasad manusia. Bedanya fitrah manusia pasti sama mempunyai potensi bertauhid, sedangkan tabiat merupakan sesuatu yang ditantukan Allah melalui ilmunya.
Aktivitas pendidikan berkaitan erat dengan proses pemanusiaan manusia (humanizing of human being) atau upaya untuk membantu subjek (individu) secara normatif  berkembang lebih baik. Upaya membantu manusia berkembang normatif lebih baik dimulai dari proses merumuskan hakikat manusia. Sebab, tanpa pemahaman yang benar tentang apa, siapa, mengapa, dan untuk apa manusia, maka pendidikan akan gagal mewujudkan manusia yang dicita-citakan. Begitu menariknya membicarakan tentang hakikat manusia dengan segala potensi yang dimilikinya, agar manusia tidak keluar dari fitrah kemanusiaannya.


[1]Muin Salim, Konsepsi Politik dalam al-Qur’an, (Jakarta: LSIK & Rajawali Press, 1994), hal. 81.
[2]Ibid, hal. 82.
[3]Lihat Dawam Raharjo, Pandangan al-Qur’an Tentang Manusia Dalam Pendidikan Dan Perspektif al-Qur’an ( Yogyakarta : LPPI, 1999), hal. 18.
[4] Lihat, Rif’at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami, Ed. Rendra (Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2000), hal. 5.
[5]Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Kar³m, (Qahirah : Dar al-Had³ts, 1988), hal. 153-154.
[6]Al- Raqhib al- Ishfahaniy, al-Mufradat f³ Gharb al-Qur’an, (Beirut : Dar al-Ma’arif, tt.), hal. 46-49.
[7]Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, Juz VII, (Mesir : Dar al-Mishriyyah, 1992), hal. 306-315.
[8]Di antaranya lihat, QS. H-d (11): 2. QS. Y-suf (12): 96. QS. al-Kahfi (18): 110. QS. al-Furqan (25): 48. QS. Saba’ (34): 28. QS. al-Ahqaf (46): 12.

[9] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung : Mizan, 1998) hal. 277.
[10]Aisyah Bintu Syati, Manusia dalam Perspektif al-Qur-an terj. Ali Zawawi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hal. 1-2.
[11]Abd. Baqi, op. cit., hal. 895-899.

[12] M. Quraish Shihab, op. cit., hal. 280.
[13] Muhammad bin Ali al-Syaukani, Fath al-Qad³r, (Kairo: Mushtafa al-Babiy al-Halabiy. 1964), hal. 465.
[14] Lihat, QS. al-Tin (95): 6.
[15]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung : Mizan, 1994), hal. 69-70.
[16]Aisyah Bintu Syati, op. cit., hal. 7-8.
[17] Abd. Baqi , op. cit., hal. 895-899
[18]Al- Raqhib al- Ishfahaniy, op. cit., hal. 509
[19]Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an (Cet. I. Yogyakarta: LESFI, 1992), hal. 25.

                [20] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Edisi Revisi (Cet. II; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), hal. 141.
[21] Al-Rasyidin & H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, : (Jakarta : Ciputat Press, 2005), hal: 19
[22] Musa Asy’ari,
[23] Al-Rasyidin & H. Samsul Nizar, opcit, hal: 17-18
[24] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Cet. III)  (Bandung:  Mizan, 1996), hal. 283-284
[25] Ahmad Nurwajah, Tafsir Tarbawi, Hati Yang Selamat Hingga Kisah Luqman, (Bandung : Marja : 2007), hal. 86.
[26]Tedi Priatna,  Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam, Ikhtiar mewujudkan pendidikan bernilai Ilahiyah dan Insaniah di Indonesia,  (Bandung, Pustaka Bani Quraisy, 2004), hal. 95-96.
[27] Abdul Mujib Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya,(Bandung: Trigenda Karya, 1993), hal. 13-19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar