Al-Qur’an sebagai pedoman
hidup bagi umat Islam secara jelas mengetengahkan konsep manusia, menurut Muin
Salim pengungkapan manusia dalam al-Qur’an melalui dua pendekatan. Pertama, dengan
menelusuri arti kata-kata yang digunakan al-Quran untuk menunjuk makna manusia
(kajian terminologi). Kedua, menelusuri pernyataan al-Qur’an yang
berhubungan dengan kedudukan manusia dan potensi yang dimilikinya.[1]
Secara terminologis, ungkapan al-Qur’an
untuk menunjukkan konsep manusia terdiri atas tiga kategori, yaitu: a) al-insan,
al-in’s, unas, al-nas, anasiy dan insiy; b) al-basyar; dan;
c) bani adam “anak adam ” dan durriyyat adam “keturunan adam ”.[2] Menurut M. Dawam Raharjo istilah manusia yang
diungkapkan dalam al -Qur’an seperti basyar, insan, unas, insiy, ‘imru, rajul
atau yang mengandung pengertian perempuan seperti imra’ah, nisa’ atau
niswah atau dalam ciri personalitas, seperti al-atqa, al-abrar, atau
ulul-albab, juga sebagai bagian kelompok sosial seperti al-asyqa,
dzul-qurba, al-dhu’afa atau al-mustad’afin yang semuanya mengandung
petunjuk sebagai manusia dalam hakekatnya dan manusia dalam bentuk kongkrit.[3]
Meskipun demikian untuk memahami secara mendasar dan pada umumnya ada tiga kata
yang sering digunakan Al-Qur’an untuk merujuk kepada arti manusia, yaitu insan
atau ins atau al-nas atau unas, dan kata basyar serta
kata bani adam atau durriyat adam .[4]
Meskipun ketiga kata tersebut
menunjukkan pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan
pengertian yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada uraian berikut :
1.
Term Al-Basyar
Penamaan manusia dengan kata al-Basyar dinyatakan dalam
Al-Qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat.[5]
Secara etimologi al-basyar berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang
menjadi tempat tumbuhnya rambut. Penamaan ini menunjukkan makna bahwa secara
biologis yang mendominasi manusia adalah pada kulitnya, dibanding rambut atau
bulunya.[6] Pada aspek ini terlihat perbedaan umum
biologis manusia dengan hewan yang lebih didominasi bulu atau rambut.
Al-Basyar, juga dapat diartikan mulasamah,
yaitu persentuhan kulit antara laki-laki dengan perempuan.[7]
Makna etimologi dapat dipahami adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang
memiliki segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan, minum, seks,
keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Penunjukan kata al-basyar ditujukan
Allah kepada seluruh manusia tanpa terkecuali, termasuk eksistensi Nabi dan
Rasul.[8]
Eksistensinya memiliki kesamaan dengan manusia pada umumnya, akan tetapi juga
memiliki titik perbedaan khusus bila dibanding dengan manusia lainnya.
Adapun titik perbedaan tersebut dinyatakan al-Qur’an dengan adanya
wahyu dan tugas kenabian yang disandang para Nabi dan Rasul. Sedangkan aspek
yang lainnya dari mereka adalah kesamaan dengan manusia lainnya. Hanya saja
kepada mereka diberikan wahyu, sedangkan kepada manusia umumnya tidak diberikan
wahyu. Firman Allah swt.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا
إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ
عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Artinya : Katakanlah:
Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:
"Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa".
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
kepada Tuhannya". (QS. Al Kahfi : 110).
Menurut M. Quraish Shihab, kata basyar terambil dari akar
kata yang pada umumnya berarti menampakkan sesuatu dengan baik dan indah. Dari
kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamakan
basyarah karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang
lainnya. Al-Qur’an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal
dan 1 kali dalam bentuk musanna (dua) untuk menunjukkan manusia dari
aspek lahiriah serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.[9]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian manusia dengan
menggunakan kata basyar, artinya anak keturunan adam banu adam , mahkluk
fisik atau biologis yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah
yang menyebut pengertian basyar mencakup anak keturunan adam secara
keseluruhan.[10] Al-Basyar mengandung pengertian bahwa
manusia akan berketurunan yaitu mengalami proses reproduksi seksual dan
senantiasa berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya, memerlukan
ruang dan waktu, serta tunduk terhadap hukum alamiahnya, baik yang berupa sunnatullah
(sosial kemasyarakatan), maupun takdir Allah (hukum alam). Semuanya itu merupakan
konsekuensi logis dari proses pemenuhan kebutuhan tersebut. Untuk itu, Allah
swt. memberikan kebebasan dan kekuatan kepada manusia sesuai dengan batas
kebebasan dan potensi yang dimilikinya untuk mengelola dan memanfaatkan alam
semesta, sebagai salah satu tugas kekhal³fahannya di muka bumi.
2.
Term Al-Insan
Adapun penamaan manusia dengan kata al-insan yang berasal
dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan
tersebar dalam 43 surat.[11]
Secara etimologi, al-insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut,
tampak, atau pelupa. Menurut Quraish Shihab, manusia dalam al-Qur’an disebut
dengan al-Insan. Kata insan terambil dari kata uns yang
berarti jinak, harmonis dan tampak. Pendapat ini jika ditinjau dari sudut
pandang al-Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata
nasiya (yang berarti lupa), atau nasa-yansu (yang berarti
bergoncang). Kata insan digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan kepada
manusia dengan seluruh totalitas, jiwa dan raga. Manusia berbeda antara seseorang
dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasannya.[12]
Adapun kata al-Insan digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan
totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua aspek
tersebut dengan berbagai potensi yang dimilikinya, mengantarkan manusia sebagai
makhluk Allah yang unik dan istimewa sempurna, dan memiliki diferensiasi
individual antara satu dengan yang lain, dan sebagai makhluk dinamis, sehingga
mampu menyandang predikat khal³fah Allah di muka bumi.
Perpaduan antara aspek fisik dan psikis telah membantu manusia
untuk mengekspresikan dimensi al-insan dan al-bayan, yaitu
sebagai makhluk berbudaya yang mampu berbicara, mengetahui baik dan buruk, dan
lain sebagainya.[13]
Dengan kemampuan ini, manusia akan mampu mengemban amanah Allah di muka bumi
secara utuh, yakni akan dapat membentuk dan mengembangkan diri dan komunitasnya
sesuai dengan nilai-nilai insaniah yang memiliki nuansa Ilahiah dan hanif.
Integritas ini akan tergambar pada nilai-nilai iman dan bentuk amaliahnya.[14]
Dengan kemampuan ini,. Namun demikian, manusia sering lalai bahkan melupakan
nilai-nilai insaniah yang dimilikinya dengan berbuat berbagai bentuk mafsadah
(kerusakan) di muka bumi.
Kata al-insan juga digunakan dalam al-Qur’an untuk
menunjukkan proses kejadian manusia sesudah ²dam. Kejadiannya mengalami proses
yang bertahap secara dinamis dan sempurna di dalam di dalam rahim. (QS. al-Nahl
(16): 78; QS. al-Mukmin-n (23): 12-14. Penggunaan kata al-insan dalam
ayat ini mengandung dua makna, yaitu: Pertama, makna proses biologis,
yaitu berasal dari saripati tanah melalui makanan yang dimakan manusia sampai
pada proses pembuahan. Kedua, makna proses psikologis (pendekatan
spiritual), yaitu proses ditiupkan ruh-Nya pada diri manusia, berikut berbagai
potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia.
Makna pertama mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya
merupakan dinamis yang berproses dan tidak lepas dari pengaruh alam serta
kebutuhan yang menyangkut dengannya. Keduanya saling mempengaruhi antara satu
dengan yang lain. Sedangkan makna kedua mengisyaratkan bahwa, ketika
manusia tidak bisa melepaskan diri dari kebutuhan materi dan berupaya untuk
memenuhinya, manusia juga dituntut untuk sadar dan tidak melupakan tujuan
akhirnya, yaitu kebutuhan immateri (spiritual). Untuk itu manusia diperintahkan
untuk senantiasa mengarahkan seluruh aspek amaliahnya pada realitas ketundukan
pada Allah, tanpa batas, tanpa cacat, dan tanpa akhir. Sikap yang demikian akan
mendorong dan menjadikannya untuk cenderung berbuat kebaikan dan ketundukan
pada ajaran Tuhannya.[15]
Menurut Aisyah Bintu Syati, bahwa term al-insan yang terdapat
dalam al-Qur’an menunjukkan kepada ketinggian derajat manusia yang membuatnya
layak menjadi khal³fah di bumi dan mampu memikul beban berat dan aktif (tugas
keagamaan) dan amanah kehidupan. Hanya manusialah yang dibekali keistimewaan
ilmu (punya ilmu pengetahuan), al-bayan (pandai bicara), al-‘aql (mampu
berpikir), al-tamyiz (mampu menerapkan dan mengambil keputusan) sehingga
siap menghadapi ujian, memilih yang baik, mengatasi kesesatan dan berbagai
persoalan hidup yang mengakibatkan kedudukan dan derajatnya lebih dari derajat
dan martabat berbagai organisme dan makhluk-makhluk lainnya.[16]
3.
Term Al-Nas
Kata al-Nas dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali
dan tersebar dalam 53 surat.[17]
Kata al-nas menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk hidup
dan sosial, secara keseluruhan, tanpa melihat status keimanan atau
kekafirannya.[18]
Kata al-Nas dipakai al-Qur’an untuk menyatakan adanya sekelompok orang
atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan (aktivitas) untuk
mengembangkan kehidupannya.[19]
Dalam menunjuk makna manusia, kata al-nas lebih bersifat umum bila
dibandingkan dengan kata al-Insan. Keumumannya tersebut dapat di lihat dari
penekanan makna yang dikandungnya. Kata al-Nas menunjuk manusia sebagai makhluk
sosial dan kebanyakan digambarkan sebagai kelompok manusia tertentu yang sering
melakukan mafsadah dan pengisi neraka, di samping iblis. Hal ini
terlihat pada firman Allah QS. al-Baqarah (2): 24.
فَإِنْ لَمْ
تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ
وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
Terjemahnya : Maka jika kamu
tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya),
peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang
disediakan bagi orang-orang kafir.
Manusia merupakan satu hakekat yang mempunyai dua dimensi, yaitu
dimensi material (jasad) dan dimensi immaterial (ruh, jiwa, akal dan
sebagainya).
ذَلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ
وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ (6) الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ
وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ (7) ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ
سُلَالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ (8) ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ
وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا
تَشْكُرُونَ
Artinya : Itulah Tuhan yang
Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, yang Maha Perkasa lagi Maha
Penyayang, Dialah yang telah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya,
dan memulai menciptakan manusia dari segumpal tanah, dan Dia ciptakan keturunannya
dari jenis saripati berupa air yang hina, lalu Dia sempurnakan penciptaannya,
kemudian Dia tiupkan ke dalam tubuhnya ruh (ciptaan) Nya, dan Dia ciptakan
bagimu pendengaran, penglihatan dan hati, namun kamu sedikit sekali bersyukur”
(QS. al-Sajadah, 32: 6-9).
Unsur jasad akan hancur dengan kematian, sedangkan unsur jiwa akan
tetap dan bangkit kembali pada hari kiamat. Sebagaimana Firman-Nya :
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا
وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ (78) قُلْ
يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ
Artinya :“Manusia itu
bertanya, siapa pula yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang sudah hancur
itu? Katakanlah, yang menghidupkannya adalah (Tuhan) yang telah menghidupkannya
untuk pertama kali, dan Dia Maha Mengetahui akan setiap ciptaan” (QS. Yas³n,
36: 78-79).
Manusia adalah makhluk yang mulia, bahkan lebih mulia dari
malaikat. Setelah Allah menciptakan manusia, Allah memerintahkan semua malaikat
untuk memberi hormat sebagai tanda memuliakannya. Firman-Nya :
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ
سَاجِدِينَ
Artinya :“Maka ketika telah
Aku sempurnakan ia dan Aku tiupkan ruh kepadanya, maka beri hormatlah kepadanya
dengan bersujud” (QS. al-Hijr, 15: 29).
Kemudian,
Kemuliaan manusia ditegaskan dengan jelas dalam Firman-Nya :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي
آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ
الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Artinya : “Sesungguhnya kami
telah muliakan anak ²dam, dan Kami angkat mereka dari di darat dan di laut, dan
Kami beri rezeki mereka dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dari
kebanyakan mahkluk kami” (QS. al-Isra’, 17: 70).
Manusia pada dasarnya mempunyai sifat fitrah. Konsep fitrah
menunjukkan bahwa manusia membawa sifat dasar kebajikan dengan potensi iman
(kepercayaan) terhadap keesaan Allah (tauhid). Sifat dasar atau fitrah yang
terdiri dari potensi tauhid itu menjadi landasan semua kebajikan dalam perilaku
manusia. Dengan kata lain, manusia diciptakan Allah dengan sifat dasar baik
berlandaskan tauhid.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ
مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى
أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Artinya :“Dan (ingatlah)
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian dari jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku
ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi ...” (QS.
al-A’raf, 7: 172).
Manusia sebagai hamba Allah telah diposisikan sebagai khalifah di
muka bumi ini, sebagai wakil Tuhan dalam mengatur dan memakmurkan kehidupan di
planet ini. Dengan demikian manusia oleh Allah di samping dianggap mampu untuk
melaksanakan misi ini, juga dipercaya dapat melakukan dengan baik. Dalam
kehidupan ini manusia telah dibekali dengan berbagai potensi diri atau fitrah
untuk dikembangkan dalam proses pendidikan. Dengan pengembangan diri itu dia
akan mempunyai kemampuan beradaptasi dengan konteks lingkungannya dan
memberdayakannya sehingga lingkungannya dapat memberikan support bagi
kehidupannya.
Dengan demikian, makna manusia dalam al-Qur’an
dengan istilah al-basyar, al-insan, al-nas dan bani adam mencerminkan
karakteristik dan kesempurnaan penciptaan Allah terhadap makhluk manusia, bukan
saja sebagai makhluk biologis dan psikologis melainkan juga sebagai makhluk religius,
makhluk sosial dan makhluk bermoral serta makhluk kultural yang
kesemuanya mencerminkan kelebihan dan keistimewaan manusia daripada
makhluk-makhluk Tuhan lainnya.
Manusia
diciptakan oleh Allah swt. selain
sebagai hamba juga sebagai penguasa (khalifah) di atas bumi. Sebagai hamba dan
khalifah, manusia telah dibekali kemampuan jasmaniah (fisiologis) dan rohaniah
(mental psikologis) yang dapat ditumbuhkembangkan seoptimal mungkin, sehingga
menjadi alat yang berdaya guna untuk menjalankan tugas pokoknya di atas dunia
ini. Namun proses menumbuh kembangkan kemampuan manusia melalui pendidikan
tidaklah menjamin akan terbentuknya watak dan bakat seseorang untuk menjadi baik
sesuai kehendak pencipta-Nya, karena Allah telah menggariskan bahwa di dalam
diri manusia terdapat kecenderungan dua arah, yaitu ke arah perbuatan fisik
yang menyimpang dari peraturan dan ke arah ketakwaan yaitu menaati peraturan
atau perintah Allah swt.[20]
Tugas Manusia sebagai hamba Allah (‘abd Allah), dituntut
untuk mengabdi secara totalitas kepada Allah SWT. dengan penuh keikhlasan.
Islam menggariskan bahwa seluruh akifitas seorang hamba selama ia hidup di alam
semesta ini harus bernilai ibadah, ditujukan kepada Allah SWT dalam rangka
mendapatkan redho-Nya[21].
Musa Asy’arie[22]
mengatakan bahwa esensi ‘abd adalah ketaatan, ketundukan, kepatuhan
yang kesemuanya itu hanya layak diberikan kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan
pada kodrat alamiah yang senantiasa belaku bagi-Nya. Ia terikat oleh hukum-hukum
Tuhan yang menjadi kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari
setiap ciptaa-Nya, ia tergantung pada sesamanya, hidup dan matinya menjadi
bagian dari segala yang hidup dan mati. Sebagai hamba Allah manusia tidak bias
terlepas dari kekuasaan-Nya, karena manusia mempunyai fitrah (potensi) bergama.
Yang mengakui adanya kekuatan diluar dirinya.
Pengakuan
manusia akan adanya Tuhan secara naluriah menurut Al- Qur’an disebabkan karena
telah terjadi dialog antara Allah dan roh manusia tak kala ia berada di alam
arwah. Dengan demikian kepercayaan dan ketergantungan manusia dengan Tuhannya,
tidak bisa dipisahan dari kehidupan manusia itu sendiri. Karena manusia telah
berikrar sejak alam mitsak bahwa Allah SWT. adalah Tuhanya.
Dan manusia sebagai khalifah Allah
fi al-ardh. Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai
pengemban amanat. Diantara amanat yang dibebankan kepada manusia memakmurkan
kehidupan di bumi. Karena amat mulianya manusia mengeban amanat Allah, maka
manusia diberi kedudukan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Salah satu aplikasi
dari kekhalifahan manusia di muka bumi adalah pentingnya kemampuan untuk
memahami alam semesta tempat ia hidup dan menjalankan tugasnya. Tanggung jawab moral
manusia untuk mengelola dan memmfaatkan seluruh sumber yang tersedia di alam
ini untuk memenuhi keperluan hidupnya. Manusia diharapkan mampu mempertahankan
martabatnya sebagai Khalifah Allah yang hanya tunduk
kepada-Nya dan tidak akan tunduk kepada alam semesta[23].
Kata ( فطرة ) diambil dari kata fathara yang
berarti mencipta. Kemudian ditambahkan bahwa fitrah adalah “Mencipta sesuatu
pertama kali tanpa ada contoh sebelumnya”. Dengan
demikian kata tersebut dapat juga dipahami dalam arti asal kejadian, atau
bawaan sejak lahir. Para ulama berbeda pendapat tentang maksud kata fitrah pada
ayat ini. Ada yang berpendapat bahwa fitrah yang dimaksud adalah keyakinan tentang keesaan Allah swt, yang ditanamkan Allah dalam diri setiap insan.[24]
Kata Fitrah terulang sebanyak 28
kali dalam al Qur’an di surat dan ayat yang berbeda, 14 kali diantaranya
berbicara tentang penciptaan manusia[25].
Menurut Tedi Priatna[26],
fitrah mengandung pengertian asal kejadian, kesucian, dan agama yang benar. pengertian dalam konteks penciptaan manusia
baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya Allah, maupun dari segi uraian
tentang fitrah manusia. Seperti yang tersurat dalam Surat
Ar-Rum ayat 30:
Artinya :“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama
Allah; (pilihlah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.”2 (Q.S. Ar-Rum:
30)
Abdul Mujib Muhaimin[27],
menjelaskan pemaknaan fitrah, yaitu ; Pertama, Fitrah yang berarti suci
(thuhr), yaitu kesucian jasmani dan rohani. Kedua, Fitrah Islam (dienul
Islam), pemaknaan tersebut menunjukan bahwa tujuan diciptakanya manusia
adalah penyerahan diri kepada sang pencipta, tanpa beragama Islam berarti telah
keluar dari fitrahnya. Ketiga, Fitrah mengakui keesaan Allah (at-tauhid),
manusia semenja lahir membawa potensi tauhid. yaitu kecenderungan manusia untuk
meng-Esa-kan Tuhan dan berusaha terus untuk mencari ketauhidan tersebut.
Keempat, Fitrah selamat (al salamah), fitrah secara potensial berati
keselamatan dalam proses penciptaan, watak dan strukturnya. Iman dan kufurnya
baru tumbuh setelah manusia mencapai aqil balig. Kelima, Fitrah
kesanggupan atau predisposisi untuk menerima kebenaran. Secara fitriah manusia
lahir cenderung berusaha mencari dan menerima kebenaran, walaupun pencarian itu
masih tersembunyi di dalam lubuk hati yang paling dalam. Adakalanya manusia
telah menemukan kebenaran, karena ada faktor ektrnal yang mempengryhunya, maka
ia berpaling dari kebenaran. Keenam, Fitrah ikhlas. Manusia lahir membawa
sifat-sifat yang baik, diantara sifat itu adalah ketulusan dan kemurnian dalam
melakukan kreasi. Pemaknaan tulus ini merupakan konsekwensi fitrah manusia yang
harus menjemput agama tauhid. Dengan bertauhid berati seseorang telah
menghambakan diri kepada dzat yang mutlak Allah Yang aha kuasa sekaligus
menghilangkan segala dominasi yang temporal atau nisbi. Ketujuah, Fitrah dasar manusia untuk beribadah dan
ma’rifatullah. (mengenal Alah). Dalam pemaknaan ini, aktivitas manusia dan pengenalan
manusia kepada Allah merupakan tolak ukur dan indikator pemaknaan kefitrahanya.
Dan kedelapan, Fitrah tabiat alami yang dimiliki manusia (human
nature). Watak atau tabiat merupakan daya dari daya nafs kulliyun yang
menggerakan jasad manusia. Bedanya fitrah manusia pasti sama mempunyai potensi
bertauhid, sedangkan tabiat merupakan sesuatu yang ditantukan Allah melalui
ilmunya.
Aktivitas pendidikan berkaitan erat dengan proses
pemanusiaan manusia
(humanizing of human being) atau upaya untuk membantu subjek (individu) secara
normatif berkembang lebih baik. Upaya
membantu manusia
berkembang normatif lebih baik dimulai dari proses merumuskan hakikat manusia.
Sebab, tanpa pemahaman yang benar
tentang apa, siapa, mengapa, dan untuk apa manusia, maka pendidikan akan gagal
mewujudkan manusia
yang dicita-citakan. Begitu menariknya membicarakan tentang hakikat
manusia
dengan segala potensi yang dimilikinya, agar manusia tidak
keluar dari fitrah kemanusiaannya.
[1]Muin Salim, Konsepsi
Politik dalam al-Qur’an, (Jakarta: LSIK & Rajawali Press, 1994), hal.
81.
[3]Lihat Dawam
Raharjo, Pandangan al-Qur’an Tentang Manusia Dalam Pendidikan Dan Perspektif
al-Qur’an ( Yogyakarta : LPPI, 1999), hal. 18.
[4] Lihat, Rif’at
Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi
Islami, Ed. Rendra (Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2000), hal. 5.
[5]Muhammad Fu’ad
‘Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Kar³m, (Qahirah
: Dar al-Had³ts, 1988), hal. 153-154.
[6]Al- Raqhib al-
Ishfahaniy, al-Mufradat f³ Gharb al-Qur’an, (Beirut : Dar al-Ma’arif,
tt.), hal. 46-49.
[7]Ibnu Manzhur, Lisan
al-‘Arab, Juz VII, (Mesir : Dar al-Mishriyyah, 1992), hal. 306-315.
[8]Di antaranya
lihat, QS. H-d (11): 2. QS. Y-suf (12): 96. QS. al-Kahfi (18): 110. QS.
al-Furqan (25): 48. QS. Saba’ (34): 28. QS. al-Ahqaf (46): 12.
[9] M. Quraish
Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung
: Mizan, 1998) hal. 277.
[10]Aisyah Bintu Syati, Manusia dalam Perspektif al-Qur-an terj.
Ali Zawawi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hal. 1-2.
[11]Abd. Baqi, op. cit., hal. 895-899.
[12] M. Quraish
Shihab, op. cit., hal. 280.
[13] Muhammad bin
Ali al-Syaukani, Fath al-Qad³r, (Kairo: Mushtafa al-Babiy al-Halabiy.
1964), hal. 465.
[14] Lihat, QS.
al-Tin (95): 6.
[15]M. Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung : Mizan, 1994), hal. 69-70.
[16]Aisyah Bintu
Syati, op. cit., hal. 7-8.
[17] Abd. Baqi , op.
cit., hal. 895-899
[18]Al- Raqhib al-
Ishfahaniy, op. cit., hal. 509
[19]Musa Asy’ari, Manusia
Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an (Cet. I. Yogyakarta: LESFI, 1992), hal.
25.
[21] Al-Rasyidin
& H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis, : (Jakarta : Ciputat Press, 2005), hal: 19
[22] Musa Asy’ari,
[23] Al-Rasyidin
& H. Samsul Nizar, opcit, hal: 17-18
[24] M. Quraish
Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Cet. III) (Bandung: Mizan, 1996), hal. 283-284
[25] Ahmad
Nurwajah, Tafsir Tarbawi, Hati Yang Selamat Hingga Kisah Luqman,
(Bandung : Marja : 2007), hal. 86.
[26]Tedi
Priatna, Reaktualisasi Paradigma
Pendidikan Islam, Ikhtiar mewujudkan pendidikan bernilai Ilahiyah dan Insaniah
di Indonesia, (Bandung, Pustaka Bani
Quraisy, 2004), hal. 95-96.
[27] Abdul Mujib
Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka
Dasar Operasionalnya,(Bandung: Trigenda Karya, 1993), hal. 13-19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar