A.
Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai Kalamullah yang
paripurna, disamping mengandung seperangkat nilai-nilai transhistoris, yaitu
al-Qur’an diturunkan dalam realitas sejarah sebagai respon kongkrit terhadap
sejarah dalam peristiwa, kurun waktu, dan tempat tertentu, juga memiliki
nilai-nilai traendental, yang karenanya ia bersifat abadi, nilai-nilainya tidak
terikat oleh ruang dan waktu. Sehingga difahami dan diyakini sebagai sesuatu
yang bersifat abadi. Dan kajian kisah dalam al-Qur’an merupakan manifestasi
dari kedua nilai tersebut.
Al-Qur’an sebagai sumber pemikiran Islam
sangat memberikan inspirasi edukatif yang perlu dikembangkan secara filosofis
dan ilmiah. Pengembangan demikian diperlukan sebagai kerangka dasar dalam
membangun sistem pendidikan Islam yang salah satunya dengan cara mengintrodusir
konsep-konsep dari al-Qur’an tentang pendidikan. Al-Qur’an memiliki pandangan
yang spesifik tentang pendidikan, beberapa idiom banyak dijumpai dalam
al-Qur’an, seperti kata rab yang menjadi akar kata tarbiyah, istilah tadsris,
dan ta’dhib yang mengandung implikasi pendidikan yang mendalam.
Banyak dari al-Qur’an kisah yang
dijadikan rujukan dalam pembelajaran nilai-nilai pendidikan, diantaranya
tersurat dan tersirat dalam surah Luqman. Sebagai orang tua atau pendidik bisa
memetik hikmah dan pembelajaran dari penggalan kisah Luqman tersebut. Luqman
merupakan potret orang tua yang bijaksana, mendidik anaknya dengan penuh cinta.
Karena pendidikan bukan hanya sekedar transper ilmu pengetahuan dari generasi
kegenerasi berikutnya saja, tapi juga merupakan proses transpormasi nilai dan
pembentukan karakter dalam segala aspeknya.
Pendidikan dalam keluarga merupakan
pendidikan pertama dan terutama bagi seorang anak. Pendidikan dalam keluarga
bertujuan agar anak berkembang secara maksimal yang meliputi seluruh aspek
perkembangan jasmani dan ruhani, lahir dan batin. Sudah banyak penulis dan
peneliti yang membahas tentang tujuan pendidikan, dimana pendidikan tidak hanya
menyiapkan individu agar bisa mengabdi kepada Allah semata, namun juga termasuk
semua karya, karsa, rasa dan karsa yang diniatkan kepada Allah swt. Keluarga
mempunyai peranan penting dalam pendidikan. Keluarga merupakan tempat
pertumbuhan anak yang pertama dimana dia mendapatkan pengaruh dari anggauta
keluarganya dan itu merupakan masa yang amat penting dan paling kritis dalam
pendidikan anak.
Kehidupan manusia
tidak terlepas dari nilai dan nilai itu selanjutnya diinstitusikan. Institusional
nilai yang terbaik adalah melalui upaya pendidikan.
Pandangan Freeman But dalam bukunya Cultural History Of Western Education
yang dikutip Muhaimin dan Abdul Mujib menyatakanbahwa hakikat pendidikan
adalah proses transformasi dan internalisasi nilai. Proses pembiasaan
terhadap nilai, proses rekonstruksi nilai serta proses penyesuaian
terhadap nilai.[1]
Lebih
dari itu fungsi pendidikan Islam adalah pewarisan dan pengembangan nilai-nilai
dienul Islam serta memenuhi aspirasi masyarakat dan kebutuhan tenaga disemua
tingkat dan bidang pembangunan bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Nilai pendidikan
Islam perlu ditanamkan pada
anak sejak kecil agar mengetahui nilai-nilai agama dalam kehidupannya.[2]
B.
Pengertia Nilai
Nilai artinya sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan[3]. Maksudnya
kualitas yang memang membangkitkan
respon penghargaan.[4] Nilai itu praktis
dan efektif dalam jiwa dan
tindakan manusia dan melembaga secara obyektif di dalam
masyarakat.[5] Menurut Sidi Gazalba yang dikutip Chabib
Thoha mengartikan Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai
bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang
menuntut pembuktian empirik, melainkan penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki.[6]
Menurut Rohmat Mulyana[7]
nilai sering dirumuskan dalam konsep yang berbeda-beda. Seorang sosiolog
mendefinisikan nilai dari sudut pandangnya tentang keinginan, kebutuhan,
kesenangan seseorang sampai pada sanksi dan tekanan dari masyarakat. Ahli psikolog
menafsirkan nilai sebagai suatu kecenderungan prilaku yang berawal dari
gejala-gejala psikologi. Seperti hasrat, motif, sikap, kebutuhan dan keyakinan
yang dimiliki secara individual sampai pada wujud tingkah lakunya yang unik.
Seorang antropolog melihat nilai sebagai harga yang melekat pada pola budaya
masyarakat seperti dalam bahasa, adat kebiasaan, keyakinan, hukum dan bentuk
organisasi-organisasi sosial yang dikembangkan manusia. Sementara seorang
ekonom melihat nilai sebagai harga sesuatu produk dari pelayanan yang dapat
diandalkan untuk kesejahtraan manusia. Sedang menurut Chabib Thoha nilai
merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah
berhubungan dengan subjek yang memberi arti (manusia yang meyakini).[8] Jadi
nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai acuan
tingkah laku.
C. Pengertian
Pendidikan Islam
Pendidikan dalam
bahasa inggris diterjemahkan dengan katasense used here, is a process or an
activity which is directed at producingdesirable changes in the behavior of
human being”[9]
(pendidikan adalahproses yang berlangsung untuk menghasilkan perubahan yang
diperlukandalam tingkah laku manusia).
Pengertian
pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inheren dengan konotasi
istilah “tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib” yang harus dipahami secara
bersama-sama, sekalipun ahli tafsir
berbeda-beda dalam menafsirkan ketiga istilah tersebut[10]. Ketiga istilah ini
mengandung makna yang mendalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan
yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain.
Istilah-istilah itu pula sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam:
informal, formal dan non formal.
Kata at-Tarbiyah adalah
bentuk masdar dari fi’il madhi rabba , yang mempunyai
pengertian yang sama dengan kata ‘rabb’ yang berarti nama Allah.
Dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata ‘at-Tarbiyah’, tetapi ada istilah
yang senada dengan itu yaitu; ar-rabb, rabbayani, murabbi, rabbiyun,
rabbani. Sebaiknya dalam hadis digunakan istilah rabbani. Semua
fonem tersebut mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda[11].
Pertama, Menurut
al-Qurtubi, bahwa; arti ‘ar-rabb adalah pemilik, tuan, maha memperbaiki, yang
maha pengatur, yang maha mengubah, dan yang maha menunaikan[12]. Kedua, Menurut
Louis al-Ma’luf, ar-rabb berarti tuan, pemilik, memperbaiki, perawatan,
tambah dan mengumpulkan[13].Ketiga, Menurut Fahrur Razi, ar-rabb merupakan
fonem yang seakar dengan al-Tarbiyah, yang mempunyai arti at-Tanwiyah yang
berarti (pertumbuhan dan perkembangan)[14]. Keempat, al-Jauhari yang
dikutip oleh al-Abrasy memberi arti kata at-Tarbiyahdengan rabban dan rabba dengan
memberi makan, memelihara dan mengasuh[15]. Dari pandangan beberapa
pakar tafsir ini maka kata dasar ar-rabb, yang mempunyai arti yang luas
antara lain; memilki, menguasai, mengatur, memelihara, memberi makan,
menumbuhkan, mengembangkan dan berarti pula mendidik.
Apabila
pendidikan Islam diidentikkan dengan at-ta’lim, para fakar memberikan
pengertian diantaranya, Abdul Fattah
Jalal, mendefinisikan at-ta’lim sebagai proses pemberian
pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah,
sehingga penyucian atau pembersihan manusia dari segala kotoran dan menjadikan
diri manusia berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah
serta mempelajari apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya
. At-ta’lim menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang
dibutuhkan seseorang dalam hidup serta pedoman prilaku yang baik. At-ta’lim merupakan
proses yang terus menerus diusahakan semenjak dilahirkan, sebab menusia
dilahirkan tidak mengetahui apa-apa, tetapi dia dibekali dengan berbagai
potensi yang mempersiapkannya untuk meraih dan memahami ilmu pengetahuan serta
memanfaatkanya dalam kehidupan[16]. Munurut Rasyid
Ridho[17], at-ta’lim adalah
proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya
batasan dan ketentuan tertentu . Definisi ini berpijak pada firman Allah
al-Baqarah: 31
وَعَلَّمَ آَدَمَ
الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ
أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku
nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”
Rasyid Ridho
memahami kata ‘allama’ Allah kepada Nabi Adam as, sebagai proses
tranmisi yang dilakukan secara bertahap sebagaimana Adam menyaksikan dan
menganalisis asma-asma yang diajarkan Allah kepadanya. Dari penjelasan ini
disimpulkan bahwa pengertian at-ta’lim lebih luas atau lebih umum sifatnya
daripada istilah at-tarbiyah yang khusus berlaku pada
anak-anak.Hal ini karena at-ta’lim mencakup fase bayi, anak-anak, remaja, dan
orang dewasa, sedangkan at-tarbiyah, khusus
pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak[18].
Sayed Muhammad an
Naquid al-Atas, mengartikan at-ta’lim disinonimkan
dengan pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar, namun bila at-ta’lim disinonimkan
dengan at-tarbiyah, at-ta’lim mempunyai arti pengenalan tempat
segala sesuatu dalam sebuah sistem[19]. Menurutnya ada hal yang membedakan
antara at-tarbiyah dengan at-ta’lim, yaitu ruang lingkup at-ta’lim lebih umum
daripada at-tarbiyah, karena at-tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan
hanya mengacu pada kondisi eksistensial dan juga at-tarbiyah merupakan
terjemahan dari bahasa latin education, yang keduanya mengacu
kepada segala sesuatu yang bersifat fisik-mental, tetapi sumbernya bukan dari
wahyu.
Sementara
pengunaan at-ta’dib, menurut Naquib al-Attas lebih cocok untuk
digunakan dalam pendidikan Islam, konsep inilah yang diajarkan oleh
Rasul. At-ta’dib berarti pengenalan, pengakuan yang secara
berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat
dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedimikian rupa, sehingga
membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam
tatanan wujud dan keberadaanya.Selanjutnya term ‘addaba’ yang juga
berarti mendidik dan kata ‘ta’dib’ sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi “Tuhanku
telah mendidikku dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik”[20]
Pendapat
Muhammad Athiyah al-Abrasy, pengertian at-ta’lim berbeda dengan pendapat diatas,
beliau mengatakan bahwa; at-ta’lim lebih khusus dibandingkan dengan
at-tarbiyah, karena at-ta’lim hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan
mengacu pada aspek-aspek tertentu saja, sedangkan at-tarbiyah mencakup
keseluruhan aspek-aspek pendidikan[21].
Hasan
Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi
muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang
diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya
di akhirat. Dari berbagai literatur terdapat berbagi macam pengertian
pendidikan Islam. Menurut Athiyah Al-Abrasy, pendidikan Islam adalah
mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah
air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, pola pikirnya teratur dengan
rapi, perasaannya halus, profesiaonal dalam bekerja dan manis tutur sapanya.
Sedang Ahmad D. Marimba memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah
bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum islam menuju kepada
terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Sedangkan menurut
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan adalah suatu proses penamaan sesuatu
ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan secara
bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut.
Menurut H. M
Arifin, pendidikan adalah usaha orang dewasasecara sadar untuk membimbing dan
mengembangkan kepribadian sertakemampuan dasar anak didik baik dalam bentuk
pendidikan formalmaupun non formal.[22] Adapun menurut Ahmad D. Marimba
adalahbimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik
terhadapperkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju
terbentuknyakepribadian yang utama.[23]
Dari
beberapa pendapat yang telah diuraikan secara terperinci dapat disimpulkan
bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha manusia untuk dapat membantu,
melatih, dan mengarahkan anak melalui transmisi pengetahuan, pengalaman,
intelektual, dan keberagamaan orang tua (pendidik) dalam kandungan sesuai
dengan fitrah manusia supaya dapat berkembang sampai pada tujuan yang
dicita-citakan yaitu kehidupan yang sempurna dengan terbentuknya kepribadian
yang utama. Sedang pendidikan Islam menurut ahmad D Marimba adalah bimbingan
jasmani maupun rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya
kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[24] Senada dengan pendapat
diatas, menurut Chabib Thoha pendidikan Islam adalah pendidikan yang falsafah
dasar dan tujuan serta teori-teori yang dibangun untuk melaksanakan praktek
pandidikan berdasarkan nilai-nilai dasar Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an
dan Hadits.[25]
Menurut Achmadi
mendefinisikan pendidikan Islam adalah segalausaha untuk memelihara dan
mengembangkan fitrah manusia serta sumberdaya insan yang berada pada
subjek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan
kamil) sesuai dengan norma Islam atau dengan istilah lain yaitu
terbentuknya kepribadian muslim.[26]
Masih
banyak lagi pengertian pendidikan Islam menurut para ahli, namun dari sekian
banyak pengertian pandidikan Islam yang dapat kita petik, pada dasarnya
pendidikan Islam adalah usaha bimbingan jasmani dan rohani pada tingkat
kehidupan individu dan sosial untuk mengembangkan fitrah manusia
berdasarkan hukum-hukum Islam menuju terbentuknya manusia ideal (insan kamil)
yang berkepribadian muslim dan berakhlak terpuji serta taat pada Islam sehingga
dapat mencapai kebahagiaan didunia dan di akherat.
Jadi
nilai-nilai pendidikan Islam adalah sifat-sifat atau hal-hal yang melekat pada
pendidikan Islam yang digunakan sebagai dasar manusia untuk mencapai tujuan
hidup manusia yaitu mengabdi pada Allah SWT. Nilai-nilai tersebut perlu
ditanamkan pada anak sejak kecil, karena pada waktu itu adalah masa yang tepat
untuk menanamkan kebiasaan yang baik padanya.
D.
Teks Al-Qur’an surat Luqman ayat 12-19
وَلَقَدْ
آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا
يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (12) وَإِذْ
قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13) وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ
حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ
لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ
بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا
مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ
فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15) يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ
مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ
أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ (16) يَا
بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (17) وَلَا
تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ
لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (18) وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ
صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (19)
Artinya : 12. Dan Sesungguhnya Telah kami berikan hikmat
kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang
bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri;
dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi
Maha Terpuji".13. Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada
anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar". 14.
Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-
bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah,
dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu. 15.
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu
yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan
orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka
Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan. 16. (Luqman berkata): "Hai anakku,
Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam
batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya
(membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. 17. Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah
(manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar
dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). 18. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari
manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan
diri. 19. Dan sederhanalah kamu dalam
berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara
keledai.
Al-Qur’an
surah Luqman ayat 12-19 sebagaimana termaktub di atas, mendiskripsikan
bagaimana seorang ayah (Luqman) mendidik anaknya. Menurut Ahmad Tafsir[27]. Pendidik dalam Islam adalah siapa saja
yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam orang yang
paling bertanggung jawab tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik. Alasannya
adalah; pertama karena qadrat, dimana orang tua ditakdirkan
menjadi orang tua anaknya, dan karena itu sekaligus ia ditakdirkan pula
bertanggung jawab dalam mendidik anaknya. Kedua karena kepentingan kedua
orang tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan
anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tuanya. Tanggunga jawab pertama dan
utama terletak pada orang tuanya berdasarkan Firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ
نَارًا
Artinya : Hai orang-orang
yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (QS. At-Tahrim
: 6).
Dari kisah Luqman tersebut
memberi petunjuk kepada orang tua dalam mendidik anaknya. Luqman menanamkan
nilai-nilai pendidikan kepada anaknya,seperti ketaatan kepda Allah, bersyukur,
berbuat baik kepada kedua orang tua, mensucikan jiwa secara istiqamah dengan
melaksanakan shalat, amar ma’ruf nahyi mungkar, tidak sombong merupakan hal pertama
yang ditanamkan kepda anaknya.
Kehidupan
manusia tidak terlepas dari nilai dan nilai itu selanjutnya diinstitusikan. Institusional
nilai yang terbaik adalah melalui upaya pendidikan. Pandangan Freeman But dalam
bukunya Cultural History Of Western Education yang dikutip Muhaimin dan
Abdul Mujib menyatakan bahwa hakikat
pendidikan adalah proses transformasi dan internalisasi nilai. Proses pembiasaan
terhadap nilai, proses rekonstruksi nilai serta proses penyesuaian
terhadap nilai.[28]
Lebih
dari itu fungsi pendidikan Islam adalah pewarisan dan pengembangan nilai-nilai
dienul Islam serta memenuhi aspirasi masyarakat dan kebutuhan tenaga disemua
tingkat dan bidang pembangunan bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Nilai pendidikan
Islam perlu ditanamkan pada anak sejak kecil agar mengetahui nilai-nilai agama
dalam kehidupannya.[29]
Dalam
pendidikan Islam terdapat bermacam-macam nilai Islam yang mendukung dalam
pelaksanaan pendidikan bahkan menjadi suatui rangkaian atau sistem
didalamnya.Nilai tersebut menjadi dasar pengembangan jiwa anak sehingga bisa
memberi out put bagi pendidikan yang sesuai dengan harapan masyarakat luas. Dengan banyaknya
nilai-nilai Islam yang terdapat dalam pendidikan Islam, maka penulis mencoba
membatasi nilai-nilai pendidikan Islam dengan nilai keimanan,, nilai ibadah dan
nilai akhlak.
Bagi para
pendidik, dalam hal ini adalah orang tua sangat perlu membekali anak didiknya
dengan materi-materi atau pokok-pokok dasar pendidikan sebagai pondasi hidup
yang sesuai dengan arah perkembangan jiwanya. Pokok-pokok
pendidikan yang harus ditanamkan pada anak didik yaitu, keimanan,
ibadah (amal shalih), dan akhlak.
a. Nilai Pendidikan keimanan (aqidah Islamiyah)
Iman
adalah kepercayaan yang terhujam kedalam hati dengan penuh keyakinan, tak ada
perasaan syak (ragu-ragu) serta mempengaruhi orientasi kehidupan, sikap dan
aktivitas keseharian.[30] Al Ghazali mengatakan iman
adalah megucapkan dengan lidah, mengakui benarnya dengan hati dan
mengamalkan dengan anggota badan.[31]
Pendidikan
keimanan termasuk aspek pendidikan yang patut mendapat perhatian yang pertama
dan utama dari orang tua. Memberikan pendidikan ini pada anak merupakan sebuah
keharusan yang tidak boleh ditinggalkan. Pasalnya iman merupakan pilar yang
mendasari keislaman seseorang.
Pembentukan iman
harus diberikan pada anak sejak kecil, sejalan dengan
pertumbuhan kepribadiannya. Nilai-nilai keimanan harus mulai diperkenalkan pada
anak dengan cara :
- memperkenalkan nama Allah SWT dan Rasul-Nya
- memberikan gambaran tentang siapa pencipta alam raya ini melaluikisah-kisah teladan
- memperkenalkan ke-Maha-Agungan Allah SWT .[32]
Rasulullah SAW.
adalah orang yang menjadi suri tauladan(Uswatun Hasanah) bagi umatnya,
baik sebagai pemimpin maupun orangtua. Beliau mengajarkan pada umatnya
bagaimana menanamkan nilai-nilai keimanan pada anak-anaknya. Ada lima pola
dasar pembinaan iman(Aqidah) yang harus diberikan pada anak, yaitu
membacakan kalimattauhid pada anak, menanamkan kecintaan kepada Allah SWT dan
Rasul-Nya, mengajarkan Al-Qur'an dan menanamkan nilai-nilai perjuangan dan
pengorbanan.[33]
Luqman menanamkan iman (aqidah)
yang kuat bagi putra-putrinya, melarang keras berbuat syirik, mensyukuri
nikmat-Nya. Ini sangat penting, karena anak masih berjalan pada fitrahnya
selaku manusia suci tanpa dosa, merupakan lahan yang paling terbuka untuk
mendapatkan cahaya hikmah yang terpendam dalam Al-Qur'an, sebelum hawa nafsu
yang ada dalam diri anak mulai mempengaruhinya.[34] Iman (aqidah)
yang kuat dan tertanam dalam jiwa seseoran merupakan hal yang penting dalam
perkembangan pendidikan anak. Salahsatu yang bisa menguatkan aqidah adalah
anak memiliki nilai pengorbanan dalam dirinya demi membela aqidah yang diyakini
kebenarannya. Semakin kuat nilai pengorbanannnya akan semakin kokoh aqidah yang ia miliki.[35]
Nilai pendidikan keimanan pada anak
merupakan landasan pokok bagi kehidupan yang sesuai fitrahnya, karena
manusia mempunyai sifat dan kecenderungan untuk mengalami dan mempercayai
adanya Tuhan. Oleh karena itu penanaman keimanan pada anak harus diperhatikan
dan tidak boleh dilupakan bagi orang tua sebagai pendidik. Sebagaiman firman Allah SWT dalam
surat Ar Rum :
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي
فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya : “Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakanmanusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan atas fitrahAllah.(fitrah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusiatidak mengetahui” (QS. Ar-Rum : 30).
Dengan fitrah manusia
yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagaimana dalam ayat diatas maka orang tua
mempunyai kewajiban untuk memelihara fitrah dan mengembangkannya. Hal
ini telah ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad SAW sebagai berikut :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- « مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ [36]
Dari Abu
Hurairah r.a. berkata : bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : “Tidaklah
seseorang yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (suci dari kesalahan dan
dosa), maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi.
(HR. Muslim).
Melihat
ayat dan hadis diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah dan perkembangan selanjutnya tergantung pada orang
tua dan pendidiknya, maka orang tua wajib mengarahkan anaknya agar sesuai
dengan fitrahnya. Nilai pendidikan keimanan termasuk aspek-aspek
pendidikan yangpatut mendapatkan perhatian pertama dan utama dari orang tua.
Memberikan pendidikan ini kepada anak merupakan sebuah keharusan yang tidak
boleh ditinggalkan oleh orang tua dengan penuh kesungguhan. Pasalnya iman
merupakan pilar yang mendasari keIslaman seseorang. Pembentukkan iman
seharusnya diberikan kepada anak sejak dalam kandungan,
sejalan dengan pertumbuhan kepribadiannya. Berbagai hasil pengamatan
pakar kejiwaan menunjukkan bahwa janin di dalam kandungan telah
mendapat pengaruh dari keadaan sikap dan emosi ibu yang
mengandungya.[37]
Nilai-nilai
keimanan yang diberikan sejak anak masih kecil, dapat mengenalkannya pada
Tuhannya, bagaimana ia bersikap pada Tuhannya dan apa yang mesti diperbuat di dunia
ini. Luqmanul potret orang tua dalam mendidik anak, ia telah dibekali Allah
dengan keimanan dan sifat-sifat terpuji. Orang tua sekarang perlu mencontoh
Luqman dalam mendidik anaknya, karena ia sebagai contoh baik bagi anak-anaknya.
perbuatan yang baik akan ditiru oleh anak-anaknya begitu juga sebaliknya.
b.
Nilai Pendidikan
Ibadah
Ibadah semacam
kepatuhan dan sampai batas penghabisan, yang bergerak dari perasaan hati untuk
mengagungkan kepada yang disembah.[38] Kepatuhan yang dimaksud adalah seorang
hamba yang mengabdikan diri pada Allah SWT. Ibadah merupakan bukti nyata bagi
seorang muslim dalam meyakini dan mempedomani aqidah Islamiyah. Sejak dini
anak-anak harus
diperkenalkan dengan nilai-nilai ibadah dengan cara[39] :
- Mengajak anak ke tempat ibadah
- Memperlihatkan bentuk-bentuk ibadah
- Memperkenalkan arti ibadah.
Pendidikan anak
dalam beribadah dianggap sebagai penyempurna dari pendidikan
aqidah. Karena nilai ibadah yang didapat dari anak akan menambah keyakinan
kebenaran ajarannya. Semakin nilai ibadah yang ia miliki maka akan
semakin tinggi nilai keimanannya.[40]
Ibadah merupakan penyerahan diri seorang hamba pada Allah SWT. ibadah yang
dilakukan secara benar sesuai dengan syar'i’at Islam merupakan implementasi
secara langsung dari sebuah penghambaan diri pada Allah SWT. Manusia merasa
bahwa ia diciptakan di dunia ini hanyauntuk menghamba kepada-Nya .
Pembinaan
ketaatan ibadah pada anak juga dimulai dalam keluarga kegiatan ibadah yang
dapat menarik bagi anak yang masih kecil adalah yang mengandung gerak. Anak-anak suka
melakukan sholat, meniru orangtuanya kendatipun ia tidak mengerti apa yang
dilakukannya itu.[41]
Nilai pendidikan
ibadah bagi anak akan membiasakannya melaksanakan kewajiban. Pendidikan yang
diberikan luqman pada anak anaknya
merupakan contoh baik bagi orang tua. Luqman menyuruh anak anaknya shalat
ketika mereka masih kecil dalam Al Qur’an Allah SWT berfirman :
يَا
بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakanyang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan mungkar
danbersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. (QS. Luqman :17).
Dari ayat
tersebut, Luqman menanamkan nilai-nilai pendidikan ibadah kepada anak-anaknya
sejak dini. Dia bermaksud agar anak-anaknya mengenal tujuan hidup manusia,
yaitu menghambakan diri kepada AllahSWT.bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang
patut disembah selainAllah SWT. Apa yang dilakukan luqman kepada anak-anaknya
bisa dicontoh orang tua zaman sekarang ini.Rasulullah SAW. memberikan tauladan
pada umatnya tentang nilai pendidikan ibadah. Beliau
mengajarkan anak yang berusia tujuh tahun harus sudah dilatih shalat dan ketika
berusia sepuluh tahun mulai disiplin shalatnya sabda Nabi SAW.
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ
أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ
سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ ».[42]
Dari
Umar bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya dia berkata : Rasulullah SAW
bersabda : “Suruhlah anak-anak kalian berlatih shalat sejak mereka berusia 7
tahun dan pukullah mereka jika meninggalkan shalat pada usia 10 tahun dan
pisahkanlah tempat tidur mereka (sejak usia 10 tahun)”. (HR. abu dawud).
Pedidikan
ibadah merupakan salah satu aspek pendidikan Islamyang perlu diperhatikan.Semua
ibadah dalam Islam bertujuan membawamanusia supaya selalu ingat kepada
Allah.oleh karena itu ibadahmerupakan tujuan hidup manusia diciptakan-Nya
dimuka bumi. Allahberfirman dalam surat Adz Dzariyat ayat 56:
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya menyembahKu. (
QS. Adz Dzaariyat: 56).
Ibadah
yang dimaksud bukan ibadah ritual saja tetapi ibadah yang dimaksud di sini
adalah ibadah dalam arti umum dan khusus. Ibadah umum yaitu segala amalan yang
dizinkan Allah SWT. sedangan ibadah khusus yaitu segala sesuatu (apa) yang
telah ditetapkan Allah SWT. Akan perincian-perinciannya, tingkat dan cara-caranya
yang tertentu.[43]
Usia
baligh merupakan batas Taklif (pembebanan
hukum Syar’i) apa yang diwajibkan syar'i’at pada seorang muslim maka wajib
dilakukannya, sedang yang diharamkan wajib menjauhinya. Salah satu kewajiban yang
dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari adalah shalatlima waktu. Orang tua
wajib mendidik anak-anaknya melaksanakan shalat,apabila ia tidak melaksanakan
maka orang tua wajib memukulnya.Oleh karena itu, nilai pendidikan ibadah yang
benar-benar Islamiyyah mesti dijadikan salah satu pokok pendidikan anak. Orang
tuadapat menanamkan nilai-nilai pendidikan ibadah pada anak dan berharapkelak
ia akan tumbuh menjadi insan yang tekun beribadah secara benar sesuai ajaran
Islam.
c. Nilai Pendidikan
Akhlak
Pendidikan akhlak
merupakan jiwa pendidikan Islam, dimana pendidikan akhlak ini terjadi melalui
satu konsep atau seperangkat pengertian tentang apa dan bagaimana sebaiknya
akhlak itu bisa terwujud. Konsep atau seperangkat pengertian tentang
apa dan bagaimana sebaiknya akhlak itu, disusun oleh manusia di dalam sistem
idenya. Kaidah atau norma yang merupakan ketentuan ini timbul dari satu sistem
nilai yang terdapat dalam Al Qur’an atau Sunnah yang telah dirumuskan melalui
wahyu Illahi maupun yang disusun oleh manusia sebagai kesimpulan dari
hukum-hukum yang terdapat dalam alam semesta yang diciptakan Allah SWT.[44]
Dalam dunia pendidikan aspek akhlak
sering disebut aspek afektif. Menurut Muhimin[45], kata “akhlak” (bahasa arab)
merupakan bentuk jamak dari kata “khuluq”, yang berarti tabiat, budi
pekerti, kebiasaan. Jadi bila kita berbicara tentang afektif, maka kita
berbicara tentang sikap dan nilai siswa. Muhibbin Syah[46] mengatakan
keberhasilan pengembangan ranah kognitif tidak hanya akan membuahkan kecakapan
kognitif tetapi juga menghasilkan kecakapan ranah afektif. Ia juga mengatakan
keberhasilan pengembangan ranah kognitif juga akan berdampak positif terhadap
perkembangan ranah afektif. Peningkatan kecakapan afektif ini antara lain,
berupa kesadaran beragama yang mantap. Dampak positif lainnya inilah
dimilikinya sikap mental keagamaan yang lebih tegas
dan lugas sesuai dengan tuntunan ajaran agama yang telah diilhami dan diyakini
secara mendalam.
Pendidikan akhlak merupakan proses membimbing manusia dari kegelapan,
kebodohan, untuk mencapai pencerahan pengetahuan. Dalam arti luas, pendidikan
akhlak secara formal meliputi segala hal yang memperluas pengetahuan akhlak
manusia tentang dirinya sendiri dan tentang dunia tempat mereka hidup.[47]
Pendidikan akhlak yang
diajarkan Luqman kepada putra-putrinya dengan cara mencetaknya agar memiliki
akhlak terpuji sebagaiman tersurat dan tersirat pada ayat ke 14 dan 15. Yaitu tentang
akhlak kepada orang tua dan masyarakat, hal ini akan mendasari akhlak anak kepada
guru-gurunya. Wallahu ‘Alam.
[3] W.JS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta
: Balai Pustaka,education. Menurut Frederick J. MC. Donald adalah : “Education
in the1999), hlm. 677
[8]Muhaimin dan Abdul Mujib, op cit, hal.
128.
[10]Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. (Bandung, Rosda
Karya., 1992), hal. 5
[11]An
Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam. (Bandung,
Mizan, 1988), hal. 12.
[12] Ibnu Abdillah Muahammad bin Ahmad al-Ansari
al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi. (Maktabah Waqfiyah), hal. 15.
[13] Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Lughah.(Maktabah
Syamilah Kubra), hal. 6
[14]
FathurRazi. Tafsir Fathur Razi. (Maktabah Syamilah Kubra), hal. 12
[15]
Zuhairini. Metodik pendidikan Islam. (Malang, IAIN Tarbiyah Sunan
Ampel Press. 1950), hal.17.
[16] Abdul
Fattah Jalal, Min al-Usuli al-Tarbawiyah fi al-Islam. (Mesir, Darul
Kutub Misriyah. 1977), hal. 32
[17]
Rasyid Ridho, Tafsir al-Manar. (Maktabah Waqfiyah), hal. 42
[19] An
Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam. (Bandung, Mizan.
1988), hal.17.
[21]
al-Abrasy M. Athiyah. At-Tarbiyah al-Islamiyah, terj; Bustami
A.Goni, dan Djohar Bakry, (Jakarta, Bulan Bintang. 1998), hal. 32
[22]HM. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta
: Bulan Bintang,1976) hlm. 12
[23]Ahmad
D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung : Al Ma’arif, 1989)
hlm.19.
[24]Ahmad
D. Marimba, op. cit., hlm. 21
[25]HM.
Chabib Thoha, op. cit., hlm. 99.
[26]Achmadi,
Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya
media,1992), hlm. 14.
[27] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung :
Remaja Rosdakarya, 2010), hal. 74.
[28]Muhaimin dan Abdul
Mujib, op. cit., hlm. 127.
[30]Yusuf Qardawi, Merasakan
Kehadiran Tuhan, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000),
hlm.
27.
[31]Zainudin, et. al.,
Seluk Beluk Pendidikan dari AL Ghazali, (Jakarta: Bina Askara,
1991),
hlm. 97.
[32]M. Nippan Abdul Halim,
Anak Shaleh Dambaan Keluarga,(Yogyakarta : Mitra
Pustaka,2001)
Cet. II hlm. 176
[33]M. Nur Abdul Hafizh,
“Manhaj Tarbiyah Al Nabawiyyah Li Al-Thifl”, Penerj.
Kuswandini,
et al, Mendidik Anak Bersama Rasulullah SAW, (Bandung: Al Bayan,
1997), Cet I,
hlm.
110.
[36]Imam Muslim
, Shahih Muslim, hadis, no. 6926.
[37]Zakiah Daradjat, “Pendidikan
Anak Dalam Keluarga : Tinjauan Psikologi Agama”,
dalam
Jalaluddin Rahmat dan Muhtar Gandaatmaja, Keluarga Muslim Dalam Masyarakaat
Modern,
(Bandung
: Remaja Rosda Karya, 1993), hlm. 60.
[38] Yusuf Qardawi, Konsep
Ibadah Dalam Islam, (tt.p: Central Media, tt), hlm. 33.
[39]N. Nippan Abdul Halim,
op. cit. hlm. 179
[40]M. Nur Abdul Hafidz, op.cit.,
hlm. 150
[42]Imam Abu
Daud, Sunan Abu Daud, hadis, No. 495.
82
[44]Abu Ahmadi dan Noor
Salimi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam, (Jakarta :PT Bumi Aksara, 2008), hlm. 199.
[45]Muhaimin, Wacana
Pengembangan Pendidikan Islam, ibid, hal. 306.
[46] Muhibbin
Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta : Rajawali Press, 2003), hal. 53.
[47] Suwito, Filsafat
Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, (Yogyakarta : Belukar,, 2004), hal. 31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar