Selasa, 25 November 2014

Bahagia dan Derita itu Pilihan ?



Band Wali dalam salah satu bait sya’ir lagunya mengingatkan kita, bahwa do’a untuk selamat dunia akhirat, bahagia dunia akhirat adalah “Rabbana atina Fi al dunnya hasanah wafil akhirati hasanah wa qinaa ‘adza bannar...”tentu bukan hanya sekedar berdo’a saja, tapi dengan niat yang lurus serta ikhtiar yang terus menerus.
Kita juga sering mendengar dari ceramah Pak Ustadz di mushalla atau di masjid, yaitu salah satu tujuan hidup kita adalah meraih bahagia dunia dan akhirat. Menurut Kang Jalal. Bahagia dan Derita adalah sebuah pilihan. Karena pilihan, maka kita wajib memilih kebahagian dan haram memilih penderitaan.
Kehidupan macam apa yang di “masak” dengan resep agama? Kehidupan yang bahagia ?  Bukankah semua ajaran agama dimaksudkan untuk membawa manusia kepada kehidupan yang bahagia dan menghilangkan penderitaan umat manusia?

Bagaiman sang Budha bersabda : Penderitaan terjadi karena ada keinginan, hasrat, nafsu yang harus dipuaskan. Untuk mengahiri penderitaan orang harus mengahiri keinginan. Menghentikan keinginan membuka jalan ke nirwana.  Agama Yahudi mengajarkan bahwa kita tidak perlu menghilangkan keinginan. Kebahagian dicapai dengan mematuhi hukum Tuhan. Al Qur’an sebagai hidayah dan hadiahdari Allah Swt, sumber ajaran Islam yang agung, juga menunjukan bahwa tujuan akhir dari semua perintah-Nya adalah supaya meraih kebahagiaan, dan sekaligus berbicara masalah teknisnya agar kita bisa mencapai kebahagian. Ingat ! dalam konsep Islam harus bahagia dunia dan akhirat.
Jika kita sepakat bahwa bahagia dan derita itu sebagai sebuah pilihan, (kecuali tidak sepakat).  Bisakah dengan resep agama memasak penderitaan menjadi kebahagian ?  Untuk itu pembaca saya ajak untuk menyimak baik-baik kisah ini.  Ketika aku sedang melakukan thawaf  haji, aku melihat seorang perempuan yang sangat cantik, bercahaya dalam kecantikannya, dalam raut wajahnya tidak terekam sedikitpun garis-garis kesedihan atau penderitaan. Aku memandangnya dan berkata : Demi Allah, kecantikan dan wajah indah seperti ini pastilah ia tidak pernah mengalami derita atau kesedihan.
Rupanya ia mendengar perkataanku. Ia berkata : “Tuan begitulah yang ada dalam fikiran Tuan ? “Demi Allah saya sudah terhempas dalam derita dan kesedihan yang amat memilukan telah menimpa saya. Hati dan jiwa saya dipenuhi begitu banyak duka, tanpa seorangpun yang bisa diajak  berbagi derita”.  Aku bertanya : Apa yang terjadi, Ibu ?
Ia menjawab : Suamiku sekali waktu menyembelih kambing sebagai  kurban, ketika aku sedang menyusukan bayiku. Kedua anaku yang lain sedang bermain-main di sekitar halaman rumahku. Ketika aku ingin memasak daging, salah –satu diantara anaku berkata pada saudaranya : “Ayo, aku perlihatkan padamu bagaimana bapak tadi menyembelih kambing. Saudaranya berkata : “Ayo, tunjukan”. Yang pertama menyuruh yang lain berbaring dan memotong lehernya, seperti bapaknya menyembelih kambing. Ketika ia menyadari terhadap apa yang dilakukannya, ia ketakutan dan lari hutan, ternyata di hutan banyak serigalanya, dan ia dimangsa oleh serigala tersebut.
Suamiku mencari kemana-mana, sampai mati karena kelelahan. Sementara itu, aku panik mencemaskan berita tentang suamiku. Aku letakan bayiku dan keluar rumah untuk menanyakan siapa saja yang punya berita tentang suamiku. Bayi yang kutinggalkan karena mencari keberadaan suamiku  merangkak menuju tungku api yang lagi merebus air. Ia menggapainya dan panci air itu jatuh menimpa tubuh bayi, sehingga daging  sibayi  meleleh terkelupas dari tulangnya, ia mati mengenaskan. Ketika adikku yang sudah menikah mendengar kejadian ini dirumah suaminya, ia mati karena terkejut. Jadi, tinggalah aku menanggung semua derita itu sendirian. “Aku bertanya kepadanya : “Bagaimana ibu berhasil mengatasi semua derita ini dengan sabar.” Ia menjawab : Siapa saja yang merenungkan perbedaan antara sabar dan tidak sabar, ia akan tahu betapa jauhnya kedua dunia itu. Pahala kesabaran itu kumuliaan; sedangkan pahala ketidak sabaran mendatangkan penderitaan.
Ketika musibah datang, apalagi beruntun, kita menambah penderitaan itu dengan menyalahkan siapa saja yang kita temukan. Kalau tidak bisa, kita menyalahkan diri kita. Kalau kita beragama, kita menyalahkan Tuhan.
Bahagia dan derita itu adalah ujian. Wanablukum bi sarri wal khair, aku akan menguji kamu sekalian dengan yang jelek dan yang baik. Karena setiap bentuk kebaikan dan kejelekan itu merupakan ujian dari Allah yang maha Kuasa. Tugas kita sebagai orang beragama, bagaimana memasak ujian tersebut, baik ujian yang jelek ataupun ujian yang  buruk agar sama-sama bermakna dan punya nilah dihadapan Allah Swt. Sehingga akhirnya kita menemukan kebahagiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar