Band Wali dalam salah satu bait sya’ir lagunya
mengingatkan kita, bahwa do’a untuk selamat dunia akhirat, bahagia dunia
akhirat adalah “Rabbana atina Fi al dunnya hasanah wafil akhirati hasanah wa
qinaa ‘adza bannar...”tentu bukan hanya sekedar berdo’a saja, tapi dengan niat
yang lurus serta ikhtiar yang terus menerus.
Kita juga sering mendengar dari ceramah Pak
Ustadz di mushalla atau di masjid, yaitu salah satu tujuan hidup kita adalah meraih
bahagia dunia dan akhirat. Menurut Kang Jalal. Bahagia dan Derita adalah sebuah
pilihan. Karena pilihan, maka kita wajib memilih kebahagian dan haram
memilih penderitaan.
Kehidupan macam apa yang di “masak”
dengan resep agama? Kehidupan yang bahagia ?
Bukankah semua ajaran agama dimaksudkan untuk membawa manusia kepada
kehidupan yang bahagia dan menghilangkan penderitaan umat manusia?
Bagaiman sang Budha bersabda : Penderitaan
terjadi karena ada keinginan, hasrat, nafsu yang harus dipuaskan. Untuk
mengahiri penderitaan orang harus mengahiri keinginan. Menghentikan keinginan
membuka jalan ke nirwana. Agama Yahudi
mengajarkan bahwa kita tidak perlu menghilangkan keinginan. Kebahagian dicapai
dengan mematuhi hukum Tuhan. Al Qur’an sebagai hidayah dan hadiahdari
Allah Swt, sumber ajaran Islam yang agung, juga menunjukan bahwa tujuan akhir
dari semua perintah-Nya adalah supaya meraih kebahagiaan, dan sekaligus
berbicara masalah teknisnya agar kita bisa mencapai kebahagian. Ingat ! dalam
konsep Islam harus bahagia dunia dan akhirat.
Jika kita sepakat bahwa bahagia dan derita
itu sebagai sebuah pilihan, (kecuali tidak sepakat). Bisakah dengan resep agama memasak
penderitaan menjadi kebahagian ? Untuk
itu pembaca saya ajak untuk menyimak baik-baik kisah ini. Ketika aku sedang melakukan thawaf haji, aku melihat seorang perempuan yang
sangat cantik, bercahaya dalam kecantikannya, dalam raut wajahnya tidak terekam
sedikitpun garis-garis kesedihan atau penderitaan. Aku memandangnya dan berkata
: Demi Allah, kecantikan dan wajah indah seperti ini pastilah ia tidak pernah
mengalami derita atau kesedihan.
Rupanya ia mendengar perkataanku. Ia berkata
: “Tuan begitulah yang ada dalam fikiran Tuan ? “Demi Allah saya sudah
terhempas dalam derita dan kesedihan yang amat memilukan telah menimpa saya.
Hati dan jiwa saya dipenuhi begitu banyak duka, tanpa seorangpun yang bisa
diajak berbagi derita”. Aku bertanya : Apa yang terjadi, Ibu ?
Ia menjawab : Suamiku sekali waktu
menyembelih kambing sebagai kurban,
ketika aku sedang menyusukan bayiku. Kedua anaku yang lain sedang bermain-main
di sekitar halaman rumahku. Ketika aku ingin memasak daging, salah –satu
diantara anaku berkata pada saudaranya : “Ayo, aku perlihatkan padamu bagaimana
bapak tadi menyembelih kambing. Saudaranya berkata : “Ayo, tunjukan”. Yang
pertama menyuruh yang lain berbaring dan memotong lehernya, seperti bapaknya
menyembelih kambing. Ketika ia menyadari terhadap apa yang dilakukannya, ia
ketakutan dan lari hutan, ternyata di hutan banyak serigalanya, dan ia dimangsa
oleh serigala tersebut.
Suamiku mencari kemana-mana, sampai mati
karena kelelahan. Sementara itu, aku panik mencemaskan berita tentang suamiku.
Aku letakan bayiku dan keluar rumah untuk menanyakan siapa saja yang punya
berita tentang suamiku. Bayi yang kutinggalkan karena mencari keberadaan
suamiku merangkak menuju tungku api yang
lagi merebus air. Ia menggapainya dan panci air itu jatuh menimpa tubuh bayi,
sehingga daging sibayi meleleh terkelupas dari tulangnya, ia mati
mengenaskan. Ketika adikku yang sudah menikah mendengar kejadian ini dirumah
suaminya, ia mati karena terkejut. Jadi, tinggalah aku menanggung semua derita
itu sendirian. “Aku bertanya kepadanya : “Bagaimana ibu berhasil mengatasi
semua derita ini dengan sabar.” Ia menjawab : Siapa saja yang merenungkan
perbedaan antara sabar dan tidak sabar, ia akan tahu betapa jauhnya kedua dunia
itu. Pahala kesabaran itu kumuliaan; sedangkan pahala ketidak sabaran mendatangkan
penderitaan.
Ketika musibah datang, apalagi beruntun, kita
menambah penderitaan itu dengan menyalahkan siapa saja yang kita temukan. Kalau
tidak bisa, kita menyalahkan diri kita. Kalau kita beragama, kita menyalahkan
Tuhan.
Bahagia dan derita itu adalah ujian. Wanablukum
bi sarri wal khair, aku akan menguji kamu sekalian dengan yang jelek dan yang
baik. Karena setiap bentuk kebaikan dan kejelekan itu merupakan ujian dari
Allah yang maha Kuasa. Tugas kita sebagai orang beragama, bagaimana memasak
ujian tersebut, baik ujian yang jelek ataupun ujian yang buruk agar sama-sama bermakna dan punya nilah
dihadapan Allah Swt. Sehingga akhirnya kita menemukan kebahagiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar