A. Hadis Shahih
الصَّحيح تعريفه: لغة:
الصحيح ضد السقيم, اصطلاحاً:ما اتصل سنده بنقل العَدْل الضابط عن مثله إلى منتهاه من
غير شذوذ ولا عِلَّة[1]
Shahih
secara bahasa adalah lawan dari sakit. Sedangkan menurut Istilah adalah hadis
yang sanadnya bersambung melalui penyampaian
rawi yang adil, sempurna ingatanya, dari perawi yang semisalnya sampai
akhir jalur periwayatan tidak janggal dan juga tampa ’Ilat. Dari definisi
tersebut, maka syarat hadis shahih adalah
: Sanadnya bersambung, Perawinya adil. Diriwayatkan perawi yang dhobit
(kuat ingatan), Tidak janggal, dan tampa ‘illat.
1)
Bersambung
sandanya: Artinya, masing-masing perawi mengambil hadis dari perawi di atasnya
secara langsung, dari awal periwayatan hingga ujung (akhir) periwayatan.
Perawi yang ‘adil. Seorang perawi disebut ‘adil jika memenuhi kriteria: muslim, baligh, berakal, tidak fasiq, dan juga tidak cacat maruah wibawanya (di masyarakat).
Perawi yang ‘adil. Seorang perawi disebut ‘adil jika memenuhi kriteria: muslim, baligh, berakal, tidak fasiq, dan juga tidak cacat maruah wibawanya (di masyarakat).
2)
Perawi yang dhabith, artinya
perawi ini adalah orang yang kuat hafalannya. Sehingga hadis yang dia bawa
tidak mengalami perubahan. Perawi yang dhabith
ada 2: Dhabith
karena kekuatan hafalan, yang disebut dhabtus
shadr. Dhabith
karena ketelitian catatan, yang diistilahkan dengan dhabtul kitabah.
3) Perawi
yang memiliki dhabtul kitabah, hadisnya bisa diterima jika dia menyampaikannya
dengan membaca catatan.
4) Tanpa
syudzudz, artinya, hadis yang diriwayatkan itu tidak bertentangan dengan hadis
lain yang diriwayatkan dengan jalur lebih terpercaya.
5) Tanpa
‘illat. ‘Illat (cacat
hadis) adalah sebab tersembunyi yang mempengaruhi kesahihan hadis, meskipun
bisa jadi zahirnya tampak shahih.
1.
Shahih
Lidzati (shahih secara independen)
Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih li Dzatihi” karena telah memenuhi semua syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai dengan sendirinya.[6] Untuk lebih jelasnya, berikut penulis kemukakan contoh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:
Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih li Dzatihi” karena telah memenuhi semua syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai dengan sendirinya.[6] Untuk lebih jelasnya, berikut penulis kemukakan contoh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ،
عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ شُبْرُمَةَ ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ ، عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ
مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي ؟ قَالَ : أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ
مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ :
ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أَبُوك
Hadis
yang diriwayatkan dari Abu Hurairah diatas, adalah salah satu hadis shahih yang
tidak terdapat ke-syaz-an maupun illat.
2.
Shahih li
ghairihi,
(shahih karena yang lainnya atau riwayat pendukung) yaitu hadis hasan li
dzatihi (tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi hadis
maqbul), yang diriwayatkan melalui sanad yang lain yang sama atau lebih kuat
darinya, dinamakan hadis shahih li ghairihi karena predikat
keshahihannya diraih melalui sanad pendukung yang lain.[2]
Berikut contoh hadis shahih li ghairihi yang diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi :
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ
سُلَيْمَانَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ
صَلاة.
Hadis
tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai
hadis shahih li ghairihi sebagaimana dijelaskan diatas. Pada sanad hadis
tersebut, terdapat Muhammad bin ‘Amr yang dikenal orang jujur, akan tetapi
kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke
tingkat hasan. Namun keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain,
yang lebih tinggi derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari dari A’raj dari Abu Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).
Mengenai
kehujjahan hadis shahih, dikalangan ulama tidak ada perbedaan tentang kekuatan
hukumnya, terutama dalam menentukan halal dan haram (status hukum) sesuatu. Hal
ini didasarkan pada firman Allah[3], :
…
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٧﴾
“Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya".(Q.S. al-Hasyr
: 7)
Manna’
Khalil al-Qatthan dalam Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis, mengemukakan bahwa
diantara kitab-kitab yang memuat hadis shahih adalah[4]
1. Shahih
Bukhari
2.
Shahih
Muslim
3.
Mustadrak
al-Hakim
4.
Shahih Ibn
Hibban
5. Shahih
Ibn Khuzaimah
B. Hadis Hasan
Berikut ini penulis kutifkan beberapa pengertian
hadis hasan sebagaimana dikutif oleh Syaikh Dr.Mahmud ath-Thahhaan[5],
yaitu :
الحَسَن
تعريفه:لغة: هو صفة مشبهة من " الحٌسْن " بمعنى الجَمال
Kata
Hasan (حسن) merupakan Shifat Musyabbahah dari kata
al-Husn (اْلحُسْنُ) yang bermakna al-Jamâl (الجمال):
kecantikan, keindahan.
تعريف الخطابي: هو ما عٌرِفَ
مَخْرَجٌهٌ، واشتهر رجاله، وعليه مَدَار أكثر الحديث، وهو الذي يقبله أكثر
العلماء، ويستعمله عامة الفقهاء
Definisi
al-Khaththâby : yaitu, “setiap hadits yang diketahui jalur keluarnya,
dikenal para periwayatnya, ia merupakan rotasi kebanyakan hadits dan dipakai
oleh kebanyakan para ulama dan mayoritas ulama fiqih
تعريف الترمذي : كل حديث يٌرْوَى ، لا
يكون في إسناده من يٌتَّهَمٌ بالكذب ، ولا يكون الحديث شاذا ، ويٌرْوَى من غير وجه
نحو ذلك ، فهو عندنا حديث حسن
Definisi
at-Turmudzy : yaitu, “setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya
tidak ada periwayat yang tertuduh sebagai pendusta, hadits tersebut tidak Syâdzdz
(janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari
satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut kami dinamakan dengan Hadîts
Hasan.”
تعريف ابن حَجَر : قال " وخبر
الآحاد بنقل عدل تام الضبط متصل السند غير معلل ولا شاذ هو الصحيح لذاته ، فان خَف الضبط ، فالحَسَنٌ لذاته
Ibn
Hajar: yaitu, “Khabar al-Ahâd yang diriwayatkan oleh seorang yang ‘adil,
memiliki daya ingat (hafalan), sanadnya bersambung, tidak terdapat ‘illat
dan tidak Syâdzdz, maka inilah yang dinamakan Shahîh Li Dzâtih
(Shahih secara independen). Jika, daya ingat (hafalan)-nya kurang , maka ia
disebut Hasan Li Dzâtih
Berdasarkan
pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis
merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya
saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau
lebih rendah dari perawi hadis shahih. Maka kriteria kriteria hadis hasan adalah
:
a)
Sanad hadis
harus bersambung.
b)
Perawinya adil
c)
Perawinya
mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang
dimiliki oleh perawi hadis shahih
d)
Hadis yang
diriwayatkan tersebut tidak syaz
e)
Hadis yang
diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak
Hadis
hasan dibagi menjadi dua[6],
yaitu:
1. Hadis hasan li dzatihi(hasan secara
independen)
Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan
sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan
tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
2. Hadis
hasan li ghairihi(hasan karena yang lainnya/riwayat pendukung)
Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya
berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena
perawinya fasik atau pendusta.[7]
Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis
dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan
berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat
tentu masih berstatus dha’if.
Hadis
hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis
shahih, Di dalam berargumentasi dengannya, hukumnya sama dengan hadits Shahîh
sekalipun dari sisi kekuatannya, ia berada di bawah hadits Shahih. Oleh karena
itulah, semua ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya.
Demikian juga, mayoritas ulama hadits dan Ushul menjadikannya sebagai hujjah
kecuali pendapat yang aneh dari ulama-ulama yang dikenal keras
(al-Mutasyaddidûn). Sementara ulama yang dikenal lebih longgar (al-Mutasâhilûn)
malah mencantumkannya ke dalam jenis hadits Shahîh seperti al-Hâkim, Ibn
Hibbân dan Ibn Khuzaimah namun disertai pendapat mereka bahwa ia di bawah kualitas
Shahih yang sebelumnya dijelaskan Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta
para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadis hasan ini.[8]
Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if
adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran
dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis
hasan adalah.[9]
a.
Sunan at-Tirmidzy
b.
Sunan Abu Daud
c.
Sunan ad-Dar Quthny
C. Hadis Dha’if
الضعيف " تعريفه: لغة:
ضد القوى، والضعف حسي ومعنوي، والمراد به هنا الضعف المعنوي. اصطلاحاً:
هو ما لم يجمع صفة الحسن، بفقد شرط من شروطه[10].
Dha’if
menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dha’if ada dua macam, yaitu lahiriyah
dan maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud disini adalah dha’if maknawiyah. Hadis
dhaif menurut istilah adalah “hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis
shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan.
Hadis dhaif apabila ditinjau dari segi sebab-sebab kedhaifannya, maka dapat
dibagi kepada dua bahagian. Pertama, Dhaif
disebabkan karena tidak memenuhi syarat bersambungnya sanad. Kedua,
Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya.
Hadis
mu’allaq yaitu hadis yang pada sanadnya telah dibuang satu atau lebih rawi baik
secara berurutan maupun tidak.
Contohnya pada hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari:
قال مالك عن الزهرى عن أبى سلمة عن أبى هريرة عن النبى
"لا تفا ضلوا بين الأنبيأ
Dikatakan
Muallaq karena Imam bukhari langsung menyebut Imam Malik padahal ia dengan Imam
Malik tidak pernah bertemu.
Hadis
mursal menurut istilah adalah hadis yang gugur perawi dari sanadnya setelah
tabi’in, seperti bila seorang tabi’in mengatakan,”Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda begini atau berbuat seperti ini” Contoh hadits ini adalah:
قال مالك عن جعفر بن محمد عن أبيه أن رسول الله قضى باليمن
والشاهد[13]
Disini
Muhammad bin Ali Zainul Abidin tidak menyebutkan sahabat yang menjadi perantara
antara nabi dan bapaknya.
المٌعْضَل اصطلاحاً:
ما سقط من إسناده اثنان فأكثر على التوالي
Hadis
mu’dhal menurut istilah adalah “ hadis yang gugur pada sanadnya dua atau lebih
secara berurutan.”
Contohnya : Diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanadnya kepada al-Qa’naby
dari Malik bahwasanya dia menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata, “rasulullah
bersabda,
للمملوك
طعامه وكسوته بالمعروف ، لا يُكلّف من العمل إلا ما يُطيق[14]
"
Al-Hakim
berkata,” hadis ini mu’dhal dari Malik dalam kitab al-Muwaththa’., Letak ke-mu’adalahan-nya karena
gugurnya dua perawi dari sanadnya yaitu Muhammad bin ‘Aljan, dari bapaknya.
Kedua perawi tersebut gugur secara berurutan.
المٌنقَطِع لغة: هو اسم فاعل من "
الانقطاع" ضد الاتصال.اصطلاحاً: ما لم يتصل إسنادُه، على أي وجه كان انقطاعه.[15]
Munqathi
adalah isim fa’il dari kata Inqatha’a artinya tidak bersambung.munqathi’
menurut istilah para ulama hadis mutaqaddimin sebagai “hadis yang
sanadnya tidak bersambung dari semua sisi”.
Contoh hadits ini adalah;
ما رواه عبد الرزاق عن الثورى عن أبى إسحاق عن زيد بن يثيع عن
حذيفه مرفوعا إن وليتموها أبا بكر فقوى أمين[16]
Riwayat
yang sebenarnya adalah Abdul Razak meriwayatkan hadis dari Nukman bin Abi
Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadis
dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Zaid. Dari riwayat yang
sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk hadis
yang munqthi’.
المٌدَلَّس اصطلاحاً: إخفاء عيب في الإسناد. وتحسين لظاهره.[17]
Hadits
Mudallas adalah hadis yang diriwayatkan dengan menghilangkan kecacatan dalam
sanadnya dan kelihatan baik lahirnya.
Tadlis
dibagi menjadi beberapa macam[18] :
a.
Tadlis Isnad,
adalah hadis yang disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang semasa
dengannya dan ia betemu sendiri dengan orang itu namun ia tidak mendengar hadis
tersebut langsung darinya. Apabila perawi memberikan penjelasan bahwa ia
mendengar langsung hadis tersebut padahal kenyataannya tidak, maka tidak tidak
termasuk mudallas melainkan suatu kebohongan/ kefasikan.
b.
Tadlis qath’i :
Apabila perawi menggugurkan beberapa perawi di atasnya dengan meringkas
menggunakan nama gurunya atau misalnya perawi mengatakan “ telah berkata
kepadaku”, kemudian diam beberapa saat dan melanjutkan “al-Amasi . . .”
umpamanya. Hal seperti itu mengesankan seolah-olah ia mendengar dari al-Amasi
secara langsung padahal sebenarnya tidak. Hadist seperti itu disebut juga
dengan tadlis Hadf (dibuang) atau tadlis sukut (diam dengan
tujuan untuk memotong).
c.
Tadlis ‘Athaf
(merangkai dengan kata sambung semisal “Dan”). Yaitu bila perawi menjelaskan
bahwa ia memperoleh hadis dari gurunya dan menyambungnya dengan guru lain
padahal ia tidak mendengar hadis tersebut dari guru kedua yang disebutnya.
d.
Tadlis
Taswiyah
: apabila perawi menggugurkan perawi di atasnya yang bukan gurunya karena
dianggap lemah sehingga hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh orang-orang yang
terpercaya saja, agar dapat diterima sebagai hadis shahih. Tadlis taswiyah
merupakan jenis tadlis yang paling buruk karena mengandung penipuan yang
keterlaluan.
e.
Tadlis
Syuyukh:
Yaitu tadlis yang memberikan sifat kepada perawi dengan sifat-sifat yang lebih
dari kenyataan, atau memberinya nama dengan kunyah (julukan) yang
berbeda dengan yang telah masyhur dengan maksud menyamarkan masalahnya. Contoh:
Seseorang mengatakan: “Orang yang sangat alim dan teguh pendirian bercerita
kepadaku, atau penghafal yang sangat kuat hafaleannya brkata kepadaku”.
Sebab-sebab
cacat pada perawi ada sepuluh macam,
lima macam yang berkaitan dengan ke’adilanyan , dan lima macam lagi
berkaitan dengan kekuatan daya ingatnya[19].
a. Yang
berhubungan dengan keadilanya adalah :
1.
الكذب. (berdusta)
2.
التهمة بالكذب . (tuduhan berdusta)
3.
الفسق. (fasik)
4.
البدعة. (bid’ah)
5.
الجهالة. (bodoh)
b.
Berkaitan
dengan kekuatan daya ingatnya
1. فٌحْشٌ الغلط . (kesalahan yang sangat buruk)
2. سوء الحفظ . (buruk hapalan)
3. الغفلة. (lalai)
4. كثرة الأوهام. (banyak angan-anagan)
5. مخالفة الثقات . (berbeda dengan rawi yang sitqah)
Dan
berikut ini macam-macam hadis yang dikarenakan sebab-sebab diatas:
المَوضٌوع لغة: هو اسم مفعول من "
وَضَعَ الشيء " أي " حَطَّهُ " سُمي بذلك لانحطاط رتبته. اصطلاحاً: هو الكذب
المٌخْتَلَق المصنوع المنسوب إلى رسول الله صلي الله عليه وسلم.[20]
Maudhu’
menurut bahasa adalah isim maf’ul dari kata وَضَعَ asalnya bermakna meletakan sesuatu. Dikatakan demikian
karena meninggalkan yang semestinya. Sedangkan menurut istilah adalah hadis
yang diciptakan di buat oleh pembohong kemudian dinisbahkan
kepada Nabis saw.
مَتْروٌك
اصطلاحاً : هو الحديث الذي في إسناده راو متهم بالكذب[21]
مٌنكَر هو ما رواه الضعيف مخالفاً لما رواه الثقة[22]
Hadis
munkar adalah hadits yang diriwatkan oleh perawi yang dhaif, yang menyalahi
orang kepercayaan. artinya perawi itu tidak memenuhi
syarat biasa dikatakan seorang dhabit. Atau dengan pengetian hadis yang rawinya
lemah dan bertentangan dengan riwayat rawi tsiqah. Munkar sendiri tidak hanya
sebatas pada sanad namun juga bisa terdapat pada matan.
اصطلاحاً: هو الحديث الذي اُطُّلِعَ فيه على علة تقدح في صحته مع أن
الظاهر السلامة منها
Hadis
mu’allal menurut istilah adalah hadis yang sudah diselidiki dari ‘ilat dan
kecacatanya dalam serta secara dhahirnya baik dari kecacatanya.
المجهول:هو من لم تُعْرَف عَيْنُهُ أو صفته[23]
Hadis
majhul adalah hadis yang belum diketahui
jenis dan sifatnya rawi.
1.
Majhul 'aini : hanya diketahui
seorang saja tanpa tahu jarh dan ta'dilnya.Contohnya hadis yang diriwayatkan
oleh Qutaibah ibn Sa'ad dari Ibn Luhai'ah dari Hafs ibn Hasyim ibn 'utbah ibn
Abi Waqas dari Saib ibn Yazid dari ayahnya Yazid ibn Sa'id al Kindi
ان النبي كان اذا دعا فرفع يديه مسح
وجهه بيده. اخرجه ابي داود
Hanyalah
Ibn Luhai'ah yang meriwayatkan hadis dari Hafs ibn Hasyim ibn 'utbah ibn Abi
Waqas tanpa diketahui jarh dan ta'dilnya.
2. Majhul hali :
diketahui lebih adari satu orang namun tidak diketahui jarh dan
ta'dilnya.contoh hadis ini adalah hadisnya Qasim ibn Walid dari Yazid ibn
Madkur.
ان عليا رضي الله عنه رجم لوطيا. اخرجه
البيهقى
Yazid ibn
Madkur dianggap majhul hali.
المبهماصطلاحاً: هو من أبهم اسمه، فى المتن، أو فى الإسناد، من
الرواة،[24]
Hadis
mubham yaitu hadis yang tidak menyebutkan nama orang dalam matan, rangkaian
sanad-nya, atau dalam rawinya, baik lelaki maupun perempuan.
Contohnya adalah hadis Hujaj ibn Furadhah dari seseorang (rajul), dari Abi
Salamah dari Abi Hurairah.
قال رسو ل الله المؤمن غر كريم والفاجر
خب لئيمز اخرجه ابو داود
g.
Hadis Syadz
اصطلاحاً: اختلفت فيه أقوالهم على النحو التالى[25]
h.
Hadis maqlub
مقلوب اصطلاحاً: إبدال لفظ بآخر فى سند
الحديث أو متنه، بتقديم، أو تأخير، ونحوه[26]
Yang
dimaksud dengan hadi maqlub ialah yang memutar balikkan (mendahulukan) kata, kalimat,
atau nama yang seharusnya ditulis di belakang, dan mengakhirkan kata, kalimat
atau nama yang seharusnya didahulukan.
i.
Hadis mudraj
مدرج اصطلاحاً: ما غير سياق إسناده، أو
أدخل فى متنه ما ليس منه، بلا فصل[27]
Secara
terminologis hadits mudraj ialah yang didalamnya terdapat sisipan atau
tambahan, baik pada matan atau pada sanad. Pada matan bisa berupa penafsiran
perawi terhadap hadits yang diriwayatkannya, atau bisa semata-mata tambahan,
baik pada awal matan, di tengah-tengah, atau pada akhirnya.
مصحف اصطلاحاً: هو تغيير الكلمة فى
الحديث إلى غير ما رواها الثقات، لفظاً أو معنى[28]
Hadits
mushahaf ialah yang terdapat perbedaan dengan hadis yang diriwayatkan oleh
orang kepercayaan, karena di dalamnya terdapat beberapa huruf yang di ubah.
Perubahan ini juga bisa terjadi pada lafadz atau pada makna.
Hadis
dhaif pada dasarnya adalah tertolak dan tidak boleh diamalkan, bila
dibandingkan dengan hadis shahih dan hadis hasan. Namun para ulama
melakukan pengkajian terhadap kemungkinan dipakai dan diamalkannya hadis dhaif,
sehingga terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Ada tiga pendapat dikalangan ulama mengenai
penggunaan hadis dhaif[29]:
1. Hadis
dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail a’mal maupun
ahkam. pendapat ini diperpegangi oleh Yahya bin Ma’in, Bukhari dan Muslim, Ibnu
Hazm, Abu Bakar ibn Araby.
2. Hadis
dhaif bisa digunakan secara mutlak, pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Daud
dan Imam Ahmad. Keduanya berpendapat bahwa hadis dhaif lebih kuat dari ra’yu
perorangan.
3. Sebagian
ulama berpendapat bahwa Hadis dhaif bisa digunakan dalam masalah fadhail
mawa’iz atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat.
Ulama-ulama yang mempergunakan hadis dhaif
dalam fadhilah amal, mensyaratkan kebolehan mengambilnya dengan tiga syarat:
1.
Kelemahan
hadis itu tiada seberapa.
2.
Apa yang
ditunjukkan hadis itu juga ditunjukkan oleh dasar lain yang dapat diperpegangi,
dengan arti bahwa memeganginya tidak berlawanan dengan suatu dasar hukum yang
sudah dibenarkan.
3.
Jangan
diyakini kala menggunakannya bahwa hadis itu benar dari nabi. Ia hanya
dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tidak berdasarkan pada nash
sama sekali[30].
[1] DR. Muhammad Thalhan, op cit, hlm. 17.
[2] Muhammad Shalih al ‘Utsaimin, Ilmu Mushthalahul Hadis.
Maktabah Syamilah, hlm. 4.
[4] Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis. Maktabah
alwaqfiyah hlm. 119-120
[5] ibid hlm. 23.
[7] Ibid, hlm, 27
[8] Ibid, hlm, 24
[9] Ibid, hlm 26
[10] Ibid. hlm. 32.
[11] Ibid. hlm. 35
[12] Ibid. hlm. 36
[13] Ibid. hlm. 37
[14] Ibid. hlm. 39.
[15] Ibid. hlm. 39.
[16] Ibid. hlm. 40.
[17] Ibid. hlm. 41
[18] Ibid. hlm. 41
[19] Ibid. hlm. 46
[20] Ibid. hlm. 46-47
[21] Ibid. hlm. 49.
[22] Ibid. hlm. 50.
[23] Ibid, hlm. 56
[24] DR. Mahmud Thahan, Mu’jam al Mushthalahu al hadis, Maktabah
Syamilah, huruf Mim, hlm. 36.
[25] DR. Mahmud Thahan, Mu’jam al Mushthalahu al hadis, Maktabah
Syamilah, huruf Syin, hlm. 25.
[26] Ibid, huruf mim, hlm.
46.
[27] Ibid, huruf Mim, hlm. 36.
[28] Ibid, huruf Mim, hlm. 46.
[30] Fathur Rahman, op.cit, hlm. 229-230.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar