Rabu, 26 November 2014

Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kwalitas Rawi



A.     Hadis Shahih

الصَّحيح تعريفه: لغة: الصحيح ضد السقيم, اصطلاحاً:ما اتصل سنده بنقل العَدْل الضابط عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ ولا عِلَّة[1]
Shahih secara bahasa adalah lawan dari sakit. Sedangkan menurut Istilah adalah hadis yang sanadnya bersambung melalui penyampaian  rawi yang adil, sempurna ingatanya, dari perawi yang semisalnya sampai akhir jalur periwayatan tidak janggal dan juga tampa ’Ilat. Dari definisi tersebut, maka syarat hadis shahih adalah  : Sanadnya bersambung, Perawinya adil. Diriwayatkan perawi yang dhobit (kuat ingatan), Tidak janggal, dan tampa ‘illat.

1)      Bersambung sandanya: Artinya, masing-masing perawi mengambil hadis dari perawi di atasnya secara langsung, dari awal periwayatan hingga ujung (akhir) periwayatan.
Perawi yang ‘adil. Seorang perawi disebut ‘adil jika memenuhi kriteria: muslim, baligh, berakal, tidak fasiq, dan juga tidak cacat maruah wibawanya (di masyarakat).
2)      Perawi yang dhabith, artinya perawi ini adalah orang yang kuat hafalannya. Sehingga hadis yang dia bawa tidak mengalami perubahan. Perawi yang dhabith ada 2: Dhabith karena kekuatan hafalan, yang disebut dhabtus shadr. Dhabith karena ketelitian catatan, yang diistilahkan dengan dhabtul kitabah.
3)      Perawi yang memiliki dhabtul kitabah, hadisnya bisa diterima jika dia menyampaikannya dengan membaca catatan.
4)      Tanpa syudzudz, artinya, hadis yang diriwayatkan itu tidak bertentangan dengan hadis lain yang diriwayatkan dengan jalur lebih terpercaya.
5)      Tanpa ‘illat. ‘Illat (cacat hadis) adalah sebab tersembunyi yang mempengaruhi kesahihan hadis, meskipun bisa jadi zahirnya tampak shahih.

1.      Shahih Lidzati (shahih secara independen)
 Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih li Dzatihi” karena telah memenuhi  semua syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai dengan sendirinya.[6] Untuk lebih jelasnya, berikut penulis kemukakan contoh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ شُبْرُمَةَ ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي ؟ قَالَ : أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ    ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أَبُوك  

Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah diatas, adalah salah satu hadis shahih yang tidak terdapat ke-syaz-an maupun illat.
2.      Shahih li ghairihi, (shahih karena yang lainnya atau riwayat pendukung) yaitu hadis hasan li dzatihi (tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi hadis maqbul), yang diriwayatkan melalui sanad yang lain yang sama atau lebih kuat darinya, dinamakan hadis shahih li ghairihi karena predikat keshahihannya diraih melalui sanad pendukung yang lain.[2] Berikut contoh hadis shahih li ghairihi yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi :

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاة.  

Hadis tersebut dinilai oleh muhaddisin  sebagai hadis shahih li ghairihi sebagaimana dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat Muhammad bin ‘Amr yang dikenal orang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan. Namun keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih tinggi derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj dari Abu Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).

c.       Kehujjahan Hadis Shahih.
Mengenai kehujjahan hadis shahih, dikalangan ulama tidak ada perbedaan tentang kekuatan hukumnya, terutama dalam menentukan halal dan haram (status hukum) sesuatu. Hal ini didasarkan pada firman Allah[3], :
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٧﴾
 “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya".(Q.S. al-Hasyr : 7)

Manna’ Khalil al-Qatthan dalam Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis, mengemukakan bahwa diantara kitab-kitab yang memuat hadis shahih adalah[4]
1.      Shahih Bukhari                      
2.      Shahih Muslim                       
3.      Mustadrak al-Hakim
4.      Shahih Ibn Hibban
5.      Shahih Ibn Khuzaimah

B.     Hadis Hasan

Berikut ini penulis kutifkan beberapa pengertian hadis hasan sebagaimana dikutif oleh Syaikh Dr.Mahmud ath-Thahhaan[5], yaitu :
الحَسَن تعريفه:لغة: هو صفة مشبهة من " الحٌسْن " بمعنى الجَمال
Kata Hasan (حسن) merupakan Shifat Musyabbahah dari kata al-Husn (اْلحُسْنُ) yang bermakna al-Jamâl (الجمال): kecantikan, keindahan.

تعريف الخطابي: هو ما عٌرِفَ مَخْرَجٌهٌ، واشتهر رجاله، وعليه مَدَار أكثر الحديث، وهو الذي يقبله أكثر العلماء، ويستعمله عامة الفقهاء
Definisi al-Khaththâby : yaitu, “setiap hadits yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya, ia merupakan rotasi kebanyakan hadits dan dipakai oleh kebanyakan para ulama dan mayoritas ulama fiqih

تعريف الترمذي : كل حديث يٌرْوَى ، لا يكون في إسناده من يٌتَّهَمٌ بالكذب ، ولا يكون الحديث شاذا ، ويٌرْوَى من غير وجه نحو ذلك ، فهو عندنا حديث حسن
Definisi at-Turmudzy : yaitu, “setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat yang tertuduh sebagai pendusta, hadits tersebut tidak Syâdzdz (janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut kami dinamakan dengan Hadîts Hasan.”

تعريف ابن حَجَر : قال " وخبر الآحاد بنقل عدل تام الضبط متصل السند غير معلل ولا شاذ هو الصحيح لذاته  ، فان خَف الضبط ، فالحَسَنٌ لذاته
Ibn Hajar: yaitu, “Khabar al-Ahâd yang diriwayatkan oleh seorang yang ‘adil, memiliki daya ingat (hafalan), sanadnya bersambung, tidak terdapat ‘illat dan tidak Syâdzdz, maka inilah yang dinamakan Shahîh Li Dzâtih (Shahih secara independen). Jika, daya ingat (hafalan)-nya kurang , maka ia disebut Hasan Li Dzâtih

Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis shahih. Maka kriteria kriteria hadis hasan adalah :
      a)            Sanad hadis harus bersambung.
      b)             Perawinya adil
      c)            Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
      d)            Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
      e)            Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak

Hadis hasan dibagi menjadi dua[6], yaitu:
1.       Hadis hasan li dzatihi(hasan secara independen)
Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
2.      Hadis hasan li ghairihi(hasan karena yang lainnya/riwayat pendukung)
      Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta.[7] Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.

Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, Di dalam berargumentasi dengannya, hukumnya sama dengan hadits Shahîh sekalipun dari sisi kekuatannya, ia berada di bawah hadits Shahih. Oleh karena itulah, semua ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya. Demikian juga, mayoritas ulama hadits dan Ushul menjadikannya sebagai hujjah kecuali pendapat yang aneh dari ulama-ulama yang dikenal keras (al-Mutasyaddidûn). Sementara ulama yang dikenal lebih longgar (al-Mutasâhilûn) malah mencantumkannya ke dalam jenis hadits Shahîh seperti al-Hâkim, Ibn Hibbân dan Ibn Khuzaimah namun disertai pendapat mereka bahwa ia di bawah kualitas Shahih yang sebelumnya dijelaskan Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadis hasan ini.[8]
            Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis hasan adalah.[9]
a.   Sunan at-Tirmidzy
b.  Sunan Abu Daud
c.   Sunan ad-Dar Quthny

C.    Hadis Dha’if

الضعيف " تعريفه: لغة: ضد القوى، والضعف حسي ومعنوي، والمراد به هنا الضعف المعنوي. اصطلاحاً: هو ما لم يجمع صفة الحسن، بفقد شرط من شروطه[10].

Dha’if menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dha’if ada dua macam, yaitu lahiriyah dan maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud disini adalah dha’if maknawiyah. Hadis dhaif menurut istilah adalah “hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan.

            Hadis dhaif apabila ditinjau dari segi sebab-sebab kedhaifannya, maka dapat dibagi kepada dua bahagian.  Pertama, Dhaif disebabkan karena tidak memenuhi syarat bersambungnya sanad. Kedua, Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya.
a.        Hadis Mu’allaq
المٌعَلَّق اصطلاحاً : ما حُذف من مبدأ إسناده راو فأكثر على التوالي .[11]
Hadis mu’allaq yaitu hadis yang pada sanadnya telah dibuang satu atau lebih rawi baik secara berurutan maupun tidak.

Contohnya pada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari:
قال مالك عن الزهرى عن أبى سلمة عن أبى هريرة عن النبى "لا تفا ضلوا بين الأنبيأ
Dikatakan Muallaq karena Imam bukhari langsung menyebut Imam Malik padahal ia dengan Imam Malik tidak pernah bertemu.

b.      Hadis Mursal (المٌرْسَل)
المٌرْسَل اصطلاحاً : هو ما سقط من آخر إسناده مَنْ بَعْدَ التابعي[12]
Hadis mursal menurut istilah adalah hadis yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in, seperti bila seorang tabi’in mengatakan,”Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda begini atau berbuat seperti ini” Contoh hadits ini adalah:
قال مالك عن جعفر بن محمد عن أبيه أن رسول الله قضى باليمن والشاهد[13]
Disini Muhammad bin Ali Zainul Abidin tidak menyebutkan sahabat yang menjadi perantara antara nabi dan bapaknya.


c.       Hadis Mu'dhal (المٌعْضَل)
المٌعْضَل اصطلاحاً: ما سقط من إسناده اثنان فأكثر على التوالي
Hadis mu’dhal menurut istilah adalah “ hadis yang gugur pada sanadnya dua atau lebih secara berurutan.”  Contohnya : Diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanadnya kepada al-Qa’naby dari Malik bahwasanya dia menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata, “rasulullah bersabda,
للمملوك طعامه وكسوته بالمعروف ، لا يُكلّف من العمل إلا ما يُطيق[14] "
Al-Hakim berkata,” hadis ini mu’dhal dari Malik dalam kitab al-Muwaththa’., Letak ke-mu’adalahan-nya karena gugurnya dua perawi dari sanadnya yaitu Muhammad bin ‘Aljan, dari bapaknya. Kedua perawi tersebut gugur secara berurutan.

d.       Hadis Munqathi' (مٌنقَطِع)
المٌنقَطِع لغة: هو اسم فاعل من " الانقطاع" ضد الاتصال.اصطلاحاً: ما لم يتصل إسنادُه، على أي وجه كان انقطاعه.[15]
Munqathi adalah isim fa’il dari kata Inqatha’a artinya tidak bersambung.munqathi’ menurut istilah para ulama hadis mutaqaddimin sebagai “hadis yang sanadnya  tidak bersambung dari semua sisi”.
Contoh hadits ini adalah;
ما رواه عبد الرزاق عن الثورى عن أبى إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفه مرفوعا إن وليتموها أبا بكر فقوى أمين[16]

Riwayat yang sebenarnya adalah Abdul Razak meriwayatkan hadis dari Nukman bin Abi Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadis dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Zaid. Dari riwayat yang sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk hadis yang munqthi’.

e.        Hadis Mudallas (مٌدَلَّس)
المٌدَلَّس اصطلاحاً: إخفاء عيب في الإسناد. وتحسين لظاهره.[17]
Hadits Mudallas adalah hadis yang diriwayatkan dengan menghilangkan kecacatan dalam sanadnya dan kelihatan baik lahirnya.
Tadlis dibagi menjadi beberapa macam[18] :
a.       Tadlis Isnad, adalah hadis yang disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang semasa dengannya dan ia betemu sendiri dengan orang itu namun ia tidak mendengar hadis tersebut langsung darinya. Apabila perawi memberikan penjelasan bahwa ia mendengar langsung hadis tersebut padahal kenyataannya tidak, maka tidak tidak termasuk mudallas melainkan suatu kebohongan/ kefasikan.
b.      Tadlis qath’i : Apabila perawi menggugurkan beberapa perawi di atasnya dengan meringkas menggunakan nama gurunya atau misalnya perawi mengatakan “ telah berkata kepadaku”, kemudian diam beberapa saat dan melanjutkan “al-Amasi . . .” umpamanya. Hal seperti itu mengesankan seolah-olah ia mendengar dari al-Amasi secara langsung padahal sebenarnya tidak. Hadist seperti itu disebut juga dengan tadlis Hadf (dibuang) atau tadlis sukut (diam dengan tujuan untuk memotong).
c.       Tadlis ‘Athaf (merangkai dengan kata sambung semisal “Dan”). Yaitu bila perawi menjelaskan bahwa ia memperoleh hadis dari gurunya dan menyambungnya dengan guru lain padahal ia tidak mendengar hadis tersebut dari guru kedua yang disebutnya.
d.      Tadlis Taswiyah : apabila perawi menggugurkan perawi di atasnya yang bukan gurunya karena dianggap lemah sehingga hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya saja, agar dapat diterima sebagai hadis shahih. Tadlis taswiyah merupakan jenis tadlis yang paling buruk karena mengandung penipuan yang keterlaluan.
e.       Tadlis Syuyukh: Yaitu tadlis yang memberikan sifat kepada perawi dengan sifat-sifat yang lebih dari kenyataan, atau memberinya nama dengan kunyah (julukan) yang berbeda dengan yang telah masyhur dengan maksud menyamarkan masalahnya. Contoh: Seseorang mengatakan: “Orang yang sangat alim dan teguh pendirian bercerita kepadaku, atau penghafal yang sangat kuat hafaleannya brkata kepadaku”.

Sebab-sebab cacat pada perawi ada sepuluh macam,  lima macam yang berkaitan dengan ke’adilanyan , dan lima macam lagi berkaitan dengan kekuatan daya ingatnya[19]. 
a.       Yang berhubungan dengan keadilanya adalah :
1.      الكذب. (berdusta)
2.      التهمة بالكذب . (tuduhan berdusta)
3.      الفسق. (fasik)
4.      البدعة.  (bid’ah)
5.      الجهالة. (bodoh)
b.      Berkaitan dengan kekuatan daya ingatnya
1.      فٌحْشٌ الغلط . (kesalahan yang sangat buruk)
2.      سوء الحفظ . (buruk hapalan)
3.      الغفلة. (lalai)
4.      كثرة الأوهام. (banyak angan-anagan)
5.      مخالفة الثقات . (berbeda dengan rawi yang sitqah)
Dan berikut ini macam-macam hadis yang dikarenakan sebab-sebab diatas:
المَوضٌوع لغة: هو اسم مفعول من " وَضَعَ الشيء " أي " حَطَّهُ " سُمي بذلك لانحطاط رتبته. اصطلاحاً: هو الكذب المٌخْتَلَق المصنوع المنسوب إلى رسول الله صلي الله عليه وسلم.[20]
Maudhu’ menurut bahasa adalah isim maf’ul dari kata وَضَعَ  asalnya bermakna meletakan sesuatu. Dikatakan demikian karena meninggalkan yang semestinya. Sedangkan menurut istilah adalah hadis yang diciptakan di buat oleh pembohong kemudian dinisbahkan kepada Nabis saw.
b.       Hadis Matruk
مَتْروٌك اصطلاحاً : هو الحديث الذي في إسناده راو متهم بالكذب[21]
Hadis matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang disangka suka berdusta.
مٌنكَر هو ما رواه الضعيف مخالفاً لما رواه الثقة[22]

Hadis munkar adalah hadits yang diriwatkan oleh perawi yang dhaif, yang menyalahi orang kepercayaan. artinya perawi itu tidak memenuhi syarat biasa dikatakan seorang dhabit. Atau dengan pengetian hadis yang rawinya lemah dan bertentangan dengan riwayat rawi tsiqah. Munkar sendiri tidak hanya sebatas pada sanad namun juga bisa terdapat pada matan.
اصطلاحاً: هو الحديث الذي اُطُّلِعَ فيه على علة تقدح في صحته مع أن الظاهر السلامة منها
Hadis mu’allal menurut istilah adalah hadis yang sudah diselidiki dari ‘ilat dan kecacatanya dalam serta secara dhahirnya baik dari kecacatanya.
e.       Hadis Majhul
المجهول:هو من لم تُعْرَف عَيْنُهُ أو صفته[23]
Hadis majhul adalah hadis yang belum diketahui  jenis dan sifatnya rawi.
1.       Majhul 'aini : hanya diketahui seorang saja tanpa tahu jarh dan ta'dilnya.Contohnya hadis yang diriwayatkan oleh Qutaibah ibn Sa'ad dari Ibn Luhai'ah dari Hafs ibn Hasyim ibn 'utbah ibn Abi Waqas dari Saib ibn Yazid dari ayahnya Yazid ibn Sa'id al Kindi
ان النبي كان اذا دعا فرفع يديه مسح وجهه بيده. اخرجه ابي داود
Hanyalah Ibn Luhai'ah yang meriwayatkan hadis dari Hafs ibn Hasyim ibn 'utbah ibn Abi Waqas tanpa diketahui jarh dan ta'dilnya.

2.         Majhul hali : diketahui lebih adari satu orang namun tidak diketahui jarh dan ta'dilnya.contoh hadis ini adalah hadisnya Qasim ibn Walid dari Yazid ibn Madkur.
ان عليا رضي الله عنه رجم لوطيا. اخرجه البيهقى
Yazid ibn Madkur dianggap majhul hali.

f.         Hadis Mubham (مبهم)
المبهماصطلاحاً: هو من أبهم اسمه، فى المتن، أو فى الإسناد، من الرواة،[24]
Hadis mubham yaitu hadis yang tidak menyebutkan nama orang dalam matan, rangkaian sanad-nya, atau dalam rawinya, baik lelaki maupun perempuan. Contohnya adalah hadis Hujaj ibn Furadhah dari seseorang (rajul), dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.

قال رسو ل الله المؤمن غر كريم والفاجر خب لئيمز اخرجه ابو داود

g.        Hadis Syadz
اصطلاحاً: اختلفت فيه أقوالهم على النحو التالى[25]
Hadis syadz yaitu hadis yang beretentangan dengan hadis lain yang riwayatnya lebih kuat.

h.       Hadis maqlub
مقلوب اصطلاحاً: إبدال لفظ بآخر فى سند الحديث أو متنه، بتقديم، أو تأخير، ونحوه[26]
Yang dimaksud dengan hadi maqlub ialah yang memutar balikkan (mendahulukan) kata, kalimat, atau nama yang seharusnya ditulis di belakang, dan mengakhirkan kata, kalimat atau nama yang seharusnya didahulukan.
i.          Hadis mudraj
مدرج اصطلاحاً: ما غير سياق إسناده، أو أدخل فى متنه ما ليس منه، بلا فصل[27]
Secara terminologis hadits mudraj ialah yang didalamnya terdapat sisipan atau tambahan, baik pada matan atau pada sanad. Pada matan bisa berupa penafsiran perawi terhadap hadits yang diriwayatkannya, atau bisa semata-mata tambahan, baik pada awal matan, di tengah-tengah, atau pada akhirnya.
j.         Hadis mushahaf
مصحف اصطلاحاً: هو تغيير الكلمة فى الحديث إلى غير ما رواها الثقات، لفظاً أو معنى[28]

Hadits mushahaf ialah yang terdapat perbedaan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang kepercayaan, karena di dalamnya terdapat beberapa huruf yang di ubah. Perubahan ini juga bisa terjadi pada lafadz atau pada makna.

Hadis dhaif pada dasarnya adalah tertolak dan tidak boleh diamalkan, bila dibandingkan dengan hadis shahih dan hadis hasan. Namun para ulama  melakukan pengkajian terhadap kemungkinan dipakai dan diamalkannya hadis dhaif, sehingga terjadi perbedaan pendapat diantara mereka.  Ada tiga pendapat dikalangan ulama mengenai penggunaan hadis dhaif[29]:
1.         Hadis dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail a’mal maupun ahkam. pendapat ini diperpegangi oleh Yahya bin Ma’in, Bukhari dan Muslim, Ibnu Hazm, Abu Bakar ibn Araby.
2.       Hadis dhaif bisa digunakan secara mutlak, pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Daud dan Imam Ahmad. Keduanya berpendapat bahwa hadis dhaif lebih kuat dari ra’yu perorangan.
3.       Sebagian ulama berpendapat bahwa Hadis dhaif bisa digunakan dalam masalah fadhail mawa’iz atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat.
 Ulama-ulama yang mempergunakan hadis dhaif dalam fadhilah amal, mensyaratkan kebolehan mengambilnya dengan tiga syarat:
1.      Kelemahan hadis itu tiada seberapa.
2.      Apa yang ditunjukkan hadis itu juga ditunjukkan oleh dasar lain yang dapat diperpegangi, dengan arti bahwa memeganginya tidak berlawanan dengan suatu dasar hukum yang sudah dibenarkan.
3.      Jangan diyakini kala menggunakannya bahwa hadis itu benar dari nabi. Ia hanya dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tidak berdasarkan pada nash sama sekali[30].


[1] DR. Muhammad Thalhan, op cit, hlm. 17.
[2] Muhammad Shalih al ‘Utsaimin, Ilmu Mushthalahul Hadis. Maktabah Syamilah, hlm. 4.
[3] DR. Muhammad Thahan. Taysir Musthalah al-Hadis Ibid, Maktabah Syamilah, hlm. 18
[4] Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis. Maktabah alwaqfiyah  hlm. 119-120
[5] ibid hlm. 23.
[6] DR. Muhammad Thahan. Taysir Musthalah al-Hadis Ibid, Maktabah Syamilah, hlm. 24
[7] Ibid, hlm, 27
[8] Ibid, hlm, 24
[9] Ibid, hlm 26
[10] Ibid. hlm. 32.
[11] Ibid. hlm. 35
[12] Ibid. hlm. 36
[13] Ibid. hlm. 37
[14] Ibid. hlm. 39.
[15] Ibid. hlm. 39.
[16] Ibid. hlm. 40.
[17] Ibid. hlm. 41
[18] Ibid. hlm. 41

[19] Ibid. hlm. 46
[20] Ibid. hlm. 46-47
[21] Ibid. hlm. 49.
[22] Ibid. hlm. 50.

[23] Ibid, hlm. 56
[24] DR. Mahmud Thahan, Mu’jam al Mushthalahu al hadis, Maktabah Syamilah,  huruf Mim, hlm. 36.
[25] DR. Mahmud Thahan, Mu’jam al Mushthalahu al hadis, Maktabah Syamilah,  huruf Syin, hlm. 25.
[26] Ibid,  huruf mim, hlm. 46.
[27] Ibid, huruf Mim, hlm. 36.
[28] Ibid, huruf Mim, hlm. 46.
[29] Manna’ Khalil al-Qatthan, op.cit., h. 131

[30] Fathur Rahman, op.cit, hlm. 229-230.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar