Rabu, 26 November 2014

Kedudukan Hadis



KEDUDUKAN HADIS DALAM HUKUM ISLAM


A.     Hadis Sebagai Sumber Hukum  Ke Dua

Ketika Nabi Muhammad Saw. Mengutus shahabat Mu’adz bin Jabal ke Negara Yaman. Beliau bertanya kepadanya,sebagaimana dalam sabdanya  :
عن معاذ بن جبل : أن النبي صلى الله عليه و سلم لما بعثه الى اليمن [ قال - له ] : كيف تقضي ان عرض لك قضاء ؟ قال : أقضي بكتاب الله قال : فان لم يكن في كتاب الله ؟ قال : فبسنة رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ قال : فان لم يكن في سنة رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ قال : اجتهد رأيي ولا آلو قال : فضرب رسول الله صلى الله عليه و سلم صدره وقال : الحمد لله الذي وفق رسول الله صلى الله عليه و سلم لما يرضي رسول الله صلى الله عليه و سلم[1]
“Dari Mu’adz bin jabal, bahwasanya Nabi Muhammad Saw. Mengutus Mua;adz bin Jabal ke Yaman. Nabi bertanya kepadanya : Bagaimana engkau memutuskan hokum jika engkau disuruh untuk menghukuminya? Jawab Mu’adz. aku akan memutuskanya dengan kitabullah. Nabi Bertanya : Jika tidak terdapat hukumnya dalam kitabullah? Mu’adz menjawab, dengan sunnah Rasulullah Saw. Nabi bertanya : jika hadispun tidak ada. Kata Mu’adz aku akan berijtihad dengan kekuatan akal-ku.

Banyak ayat al Qur’an yang menunjukan dan menjadi landasan hukum, bahwa kewajiban mentaati Allah Swt. Sekaligus harus mentaati Rasullah Saw. Karena Rasullah Saw merupakan reprensentatif dari kehendak Allah, artinya jika umat islam ingin mengetahui kemauan Allah, maka cukup mengikuti apa –apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Rasulullah saw.  Seperti terdapat dalam Firman-Nya, diantaranya :
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٧﴾
   “… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. (QS. Hasyr : 7).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً ﴿٥٩﴾
“ Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisaa : 59).

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُم مَّا حُمِّلْتُمْ وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ ﴿٥٤﴾
“ Katakanlah: "Ta`atlah kepada Allah dan ta`atlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta`at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang." (QS. An Nur : 54).

B.     Fungsi Hadis Terhadap Al Qur’an

Hadis merupakan sumber hukum ke dua setelah al Quran. Mengingkari penggunaan fungsi Hadis terhadap al Qur’an dan anggapan bahwasanya Islam hanya memiliki sumber Al-Qur’an semata, tidak mungkin menjadi pendirian seorang muslim yang benar-benar memahami agama Allah dan syari’at-Nya secara utuh. Karena mengingkari As-Hadis berarti mengingkari Al-Qur’an, bukankah banyak hukum syari’at yang ditetapkan setelahnya al Qur’an ditafsirkan dengan Al-Hadis? Rasulullah Saw. Bersabda, Artinya : ” Aku telah meninggalkan buat kalian semua dua perkara, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, niscaya kalian tidak akan pernah tersesat, kedua hal tersebut adalah kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya” (HR.Bukhari)
Hadis berfungsi sebagai bayan taqrir artinya memperkokoh isi kandungan al Qur’an. Contoh hadis yang merkokoh hukum yang telah ditetapkan dalam al Qur’an, maka keduanya menjadi sumber hukum sepeti ayat al Qur’an menetapkan untuk memulai dan mengahiri puasa ramadhan harus berdasarkan rukyat, hal tersebut diperkokoh oleh hadis, yaitu :
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ﴿١٨٥﴾
“…barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”, (QS. Al Baqarah : 185).

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ - رضى الله عنهما - قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ[2]
“bahwasanya ‘Abullah bin ‘Umar r.a. ia telah mendengar, bahwa Rasulullah Saw bersabda : apabila kalian melihat bulan, maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya, maka berbukalah (lebaran)”. (HR. Muslim).

Contoh lain, al Qur’an mengharamkan bersaksi palsu dalam Firman-Nya :
وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ ﴿٣٠﴾
Kemudian Nabi dengan Sabdanya menguatkannya, yaitu :
وعن أَبي بكرة نُفَيع بن الحارث - رضي الله عنه - ، قَالَ قَالَ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - : ألا أُنَبِّئُكُمْ بأكْبَرِ الكَبَائِرِ ؟ ثلاثاً - قُلْنَا : بَلَى ، يَا رَسُول الله ، قَالَ :(( الإشْرَاكُ بالله ، وَعُقُوقُ الوَالِدَيْنِ )) ، وكان مُتَّكِئاً فَجَلَسَ ، فَقَالَ : ألاَ وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ  فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا : لَيْتَهُ سَكَتَ . مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .[3]
Abi Bakrah Nufa’ bin Alharis Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Sukakah saya beritahukan kepadamu sebesar-besar dosa yang paling besar, tiga kali (beliau ulangi). Sahabat berkata, 'Baiklah, ya Rasulullah', bersabda Nabi. "Menyekutukan Allah, dan durhaka kepada kedua orang tua, serta camkanlah, dan saksi palsu dan perkataan bohong". Maka Nabi selalu megulangi, "Dan persaksian palsu", sehingga kami berkata, "semoga Nabi diam"[Hadits Riwayat Bukhari ]
Hadis berfungsi sebagai penjelas (Bayan tafsir) terhadap masalah-masalah yang secara tehnis belum terperinci dalam al Qur’an. Hadis menafsirkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak, memberikan taqyid ayat-ayat yang masih muthlak, memberikan takhsis ayat-ayat yang masih umum. Hal ini bisa dibuktikan bahwa kita tidak akan menemukan dalam Al-Qur-an shalat itu lima waktu sehari semalam. Atau apakah kita temukan jumlah raka'at shalat di dalamnya, cara sujud, ruku, dan salam ? tentang nisab zakat, emas, perak, kambing, unta, dan sapi? rincian ibadah haji, waktu wuquf di Arafah, cara melaksanakan shalat di Muzdalifah, cara melempar jumrah, tata cara ihram, dan larangannya? Adakah ketentuan tegas tentang balasan-balasan potong tangan bagi pencuri, larangan kawin dengan saudara sepersusuan? Adakah hukum yang rinci tentang makanan dan sembelihan yang diharamkan, sifat sembelihan dan binatang kurban? Adakah rincian hukum pidana, ketetapan hukum thalaq (cerai), hukum jual beli, riba, hukum perdata, sumpah dan hukum tahanan, umrah, shadaqah, dan semua ketentuan fiqh lainnya? Atau  segala hukum mu'amalah dan ibadah  yang lainnya?. hal tersebut dijelaskan oleh hadis sebagai panafsiran terhadap al Qur’an.
a.       Hadis menjelaskan ayat-ayat al Qur’an yang masih global (mujmal), seperti hadis tentang teknis melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji, dan yang lainya. Seperti perintah shalat

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَاذْكُرُواْ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَّوْقُوتاً ﴿١٠٣﴾
“ Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (QS. An Nisaa : 103).
قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -  صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي - رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ[4]
“Rasulullah Saw bersabda : Shalatlah kamu sebagaimana engkau melihat aku shalat”. (HR. Bukhari).
b.      Taqyidul  Muthlak yaitu membatasi kemutlakannya. Seperti kasus potong tangan yang  disebutkan dalam ayat  al Qur’an surat al Maidah ayat 38.
 وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا جَزَاء بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ﴿٣٨﴾
“ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.   (QS. Al Maidah : 38).
c.       Takhshisu ‘am atau menghususkan keumumanya, seperti ayat al Qur’an tentang hak waris. Yaitu :

يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَآؤُكُمْ وَأَبناؤُكُمْ لاَ تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعاً فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيما حَكِيماً ﴿١١﴾
“ Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa`atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An Nisa : 11).

Ayat tersebut ditakhsis dengan hadis :

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ يَرِثُ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ[5]
“Dari Utsamah bin Jaid, bahwasanya Nabi Saw. Bersabda : orang Islam tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim”

Hadis berfungsi sebagai Bayan tasyri, artinya hadis berdiri sendiri dan menetapkan hukum yang tidak ada dalam al Qur’an. Seperti hukum melarang mengawini perempuan yang sepersusuan. Karena ia dianggap muhrim senasab. Sebagaimana sabdanya :

وَإِنَّهُ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ  [6]
“sesungguhnya Allah telah mengharamkan mengawini seseorang karena sepersusuan,  sebagaimana Allah telah mengharamkanya karena senasab”


[1] Mu’jam Al Kabir, Huruf Mim, Mu’adz bin Jabal. Maktabah Syamilah, Hadis No. 362
[2] Imam Muslim, Shahih Muslim. Kitab Ash Shiyam, bab wujubi shauma ramadhan liru’yatil hilali wal fithri liru’yatihi, hadis No. 2556.
[3] .DR. Mahir Yasin, Tahqiq Riyadush Shalihin, bab Tahrimu Al ‘uquqi wa qathi’ati Ar Rahimi, juz 1 hal. 221
[4] Ibnu Hajar As Asqalany, Bulughul Maram, Kitab shalat, bab shifatu shalat. Hadis. No. 327.
[5] Imam Muslim. Shahih Muslim, Kitab Paraidh, bab hadasana Yahya bin Yahya. Hadis No. 4225.
[6] Imam Muslim. Shahih Muslim, Kitab Ar Radha, bab Tahrimu Radha, hadis No. 3657.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar