Rabu, 26 November 2014

Ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah



ILMU HADIS RIWAYAH DAN DIROYAH



Ilmu hadits merupakan ilmu yang berpautan dengan hadits dan mempunyai banyak ragam dan macamnya. Dalam pada itu, jika dilihat kepada garis besarnya, ilmu hadits terbagi menjadi dua macam saja, yaitu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah, dan ilmu-ilmu tersebut mempunyai sejarah penghimpunannya masing-masing.
Ilmu hadits riwayah maudhu’nya (objeknya) ialah pribadi Nabi, yakni perkataan, perbuatan, taqrir dan sifatnya. Karena hal inilah yang dibahaskan di dalamnya. Sedangkan maudhu’nya (objeknya) dari hadits dirayah ialah mengetahui segala yang berpautan dengan pribadi Nabi, agar kita dapat mengetahuinya dan memperoleh kemenangan dunia akhirat.

A.     Pengertian Ilmu Hadits Riwayah


 عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كَيْفِيَّةِ اِتِّصَال اْلأَحَادِيْثِ بِالرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ حَيْثَ مَعْرِفَةِ اَحْوَالِ رَوَّاتِهَا وَظَبْطٍ وَعَدَالَةٍ وَمِنْ حَيْثُ كَيْفِيَةِ السَّنَدِ اِتِّصَالاً وَنِقِطَاعًا  و نحو ذ للك
[1].
Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul saw dari segi hal ikhwal para perawinya, yang menyangkut kedhabitan dan keadilannya, dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya”.
.Ilmu Hadits Riwayah, ialah :
اَلْعِلْمُ الَّذِى يَقُوْمُ عَلَى نَقْلِ مَا أُضِيْفَ إِلَىالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْفِعْلٍ اَوْتَقْرِيْرٍ أَوْصِفَةٍ خَلْقِيَّةٍ أَوْخُلُقِيَّةٍ نَقَلاً وَقِيْقًا مُحَرَّرًا.
Ilmu pengetahuan yang mempelajari hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at maupun tingkah laku
Ibn al-Akfani, sebagaimana dikutip oleh as-Suyuti mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ilmu hadits riwayah ialah:
عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلَى أَقْوَالِ النَّبِىصَلَّ ىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وَرِوَايَتِهَا وَضَبْطِهَا وَتَحْرِيْرَ اَلْفَاظِهَا.[2]
Ilmu pengetahuan yang mencakup perkataan dan perbuatan Nabi saw, baik periwayatannya, pemeliharaannya, maupun penulisan atau pembukuan lafaz-lafaznya”.
Ilmu hadits dirayah, biasa juga disebut sebagai ilmu musthalah al-hadits. At-Tirmisi mendefinisikan ilmu ini dengan :
قَوَانِيْنُ تُحَدُّ يَدْرِي بِهَااَحْوَالُ مَتْنٍ وَسَنَدٍ وَكَيْفِيَّةِ التَحَمُلِ وَاْلأَدَاءِ وَصِفَاتِ الرِّجَالِ وَغَيْرِ ذَلِكَ.[3]
“Undang-undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lain-lain”.

B.     Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Hadits

Obyek ilmu hadits riwayah ialah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain, dan memindahkan atau mendewankan. Demikian menurut pendapat as-Suyuthi. Dalam menyampaikan dan membukukan hadits hanya disebutkan apa adanya, baik yang berkaitan dengan matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan tentang syadz (kejanggalan) dan ‘illat (kecacatan) matan hadits. Demikian pula ilmu ini tidak membahas tentang kualitas para perawi, baik keadilan, kedhabitan, atau fasikannya.
Adapun faedah mempelajari ilmu hadits riwayah adalah untuk menghindari adanya penukilan yang salah dari sumbernya yang pertama, yaitu Nabi saw.
Faedah mempelajari hadits dirayah adalah untuk mengetahui kualitas sebuah hadits, apakah ia maqbul (diterima) dan mardud (ditolak) baik dilihat dari sudut sanad maupun matanya.

C.    Cabang-cabang Ilmu Hadits

Di antara cabang-cabang besar yang tumbuh dari ilmu hadits riwayah dan dirayah[4] ialah :
a.        Ilmu rijalil hadits
b.      Ilmul jahri watt t a’dil
c.       Ilmu fannil mubhamat
d.      Ilmu ‘ilalil hadits
e.       Ilmu gharibil hadits
f.        Ilmu nasikh wal mansukh
g.      Ilmu talfiqil hadits
h.      Ilmut tashif wat tahrif
i.        Ilmu asbabi wurudil hadits
j.        Ilmu mushthalah ahli hadits


عِلْمُ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ رُوَاةِ الْحَدِيْثِ مِنَ الصَّحَابِةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ.[5]
ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari sahabat, dari tabi’in, maupun dari angkatan-angkatan sesudahnya
Dengan ilmu ini dapatlah kita mengetahui keadaan para perawi yang menerima hadits dari Rasulullah dan keadaan para perawi yang menerima hadits dari sahabat dan seterusnya.
Di dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, madzhab yang dipegangi oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu menerima hadits.
Sungguh penting sekali ilmu ini dipelajari dengan seksama, karena hadits itu, terdiri dari sanad dan matan. Maka mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad, merupakan separoh pengetahuan.
Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya, ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat ringkas dari para sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat umum para perawi. Ada yang menerangkan perawi-perawi yang dipercayai saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudallis, atau para pembuat hadits maudlu’.

Ilmu jahri wat-ta’dil, pada hakikatnya suatu bagian dari ilmu rijalil hadits. Akan tetapi, oleh karena bagian ini dipandang bagian yang terpenting dipandanglah dia suatu ilmu yang berdiri sendiri. Dimaksudkan dengan ilmu jahri wat ta’dil, ialah :
عِلْمُ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ جَرْحِ الرُّواةِ وَتَعْدِيْلِهِمْ بِأَلْفَاظٍ مَحْصُوْصَةٍ وَعَنْ مَرَاتِبِ تَلْكَ اْلاَلْفَاظٍ[6].
“Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu”.
Mencela para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak terpedaya dengan riwayat-riwayatnya) telah tumbuh sejak dari zaman sahabat.
Kitab-kitab yang disusun mengenai jarh dan ta’dil, ada beberapa macam. Ada yang menerangkan orang-orang yang dipercayai saja, ada yang menerangkan orang-orang yang lemah saja, atau orang-orang yang mentadlieskan hadits. Dan adapula yang melengkapi semuanya. Di samping itu ada yang menerangkan perawi-perawi sesuatu kitab saja, atau beberapa kitab, ada yang melengkapi segala kitab.
Kitab-kitab yang melengkapi orang-orang kepercayaan dan orang-orang lemah. Diantara kitab yang melengkapi semua itu, ialah kitab Thabaqat Muhammad ibn Sa’ad az-Zuhry al-Bashary (230 H). Kitab ini sangat besar. Di dalamnya terdapat nama-nama sahabat, nama-nama tabi’in dan orang-orang yang sesudahnya.

Ilmu tashrif wat tahrif, ialah :
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَا صُحِّفَ مِنَ اْلأَحَادِيْثِ وَمَاخُرِفَ مِنْهَا[7].
Ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dirubah titiknya (yang dinamai mushahhaf) dan bentuknya yang dinamai muharraf”.
Di antara kitab yang menerangkan ilmu ini, ialah kitab ad-Daruquthny (385 H) dan kitab at-Tashhif wat Tahrif, karangan Abu Ahmad al-Askary (283 H).


Ilmu ‘ilalil hadits, ialah :
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ أَسْبَابِ غَامِضَةٍ خَفِيَّةٍ قَادِجَةٍ فِىصِحَّةِ الْحَدِيْثِ[8].
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat merusakkan hadits”.

Yakni menyambung yang munqathi’, merafa’kan yang mauquf, memasukkan suatu hadits yang lain dan yang serupa itu. Semuanya ini, bila diketahui dapat merusakkan keshahihan hadits.
Ilmu ini, ilmu yang berpautan dengan keshahihan hadits. Tak dapat diketahui penyakit-penyakit hadits, melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadits.
Di antara para ulama yang menulis ilmu ini ialah : Ibnu Madiny (234 H), Ibni Abi Hatim (327 H). Kitab beliau ini dinamai kitab Ilalil Hadits. Dan di antara yang menulis kitab ini pula, al-Imam Muslim (261 H), aDaruquthny (375 H), dan Muhammad ibn Abdillah al-Hakm.

Ilmu gharibil hadits, ialah :
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَعْنَى مَاوَقَعَ فىمتون اْلاَحَادِيْثِ مِنَ اْلأَلْفَاظِ الْعَرَبِيَّةِ عَنْ أَذْهَانِ الَّذِيْنَ بَعْدَ عَهْدِهِمْ بِالْعَرَبِيَّةِ الْخَالِصَةِ[9].
Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum”.
Sesudah berlalu masa sahabat, yakni abad pertama, dan para tabi’in pada tahun 150 H mulailah bahasa Arab yang tinggi, tidak diketahui lagi oleh umum. Oleh karena it, berusahalah para ahli mengumpulkan kata-kata yang dipandang tak dapat dipahamkan oleh umum dan kata-kata yang kurang terpakai dalam pergaulan sehari-hari dalam suatu kitab dan mensyarahkannya.
Menurut sejarah, yang mula-mula berusaha dalam bab ini ialah Abu Ubaidah Ma’mar ibn al-Mutsanna (210 H), kemudian usaha itu diluaskan lagi oleh Abul Hasan al-Maziny (204 H). Usaha beliau-beliau ini berlaku di penghujung abad kedua hijrah.
Di awal abad ketiga hijrah berusahalah Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn Sallam (244 H) menyusun kitabnya yang terkenal dalam ilmu gharibil hadits, yang diusahakan dalam tempo 40 tahun. Kitabnya mendapat sambutan dari masyarakat, sehingga datang massanya Ibnu Qutaibah ad-Dainury (276 H). Beliau menyusun kitabnya yang terkenal pula.

Ilmun nasikh wal mansukh
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنِ النَّاسِخِ وَالْمَنْسُوْخِ مِنَ اْلأَحَادِيْثِ.[10]
Ilmu yang mempelajari hadits-hadits yang sudah dimansukhkan dan yang menasikhkannya”.
Apabila didapati suatu hadits yang maqbul, tak ada perlawanan, dinamailah hadits tersebut muhkam. Dan jika di lawan dengan hadits yang sederajat, tapi mungkin dikumpulkan dengan tidak sukar, maka hadits itu dinamai mukhtaliful hadits. Jika tak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu dinamai nasikh dan yang terdahulu dinamai mansukh.
Banyak para ahli yang menyusun kitab nasikh dan mansukh ini, diantaranya Ahmad ibn Ishaq a-Dienary (318 H), Muhammad ibn Bahar al-Ashbahany (322 H), Ahmad ibn Muhammad an-Nahnas (388 H), dan sesudah beberapa ulama lagi menyusunnya. Datanglah Muhammad ibn Musa al-Hazimy (584 H) menyusun kitabnya yang dinamai al-I’tibar. Kitab al-I’tibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu ‘Abdil Haq (744 H).

Ilmu ini ialah :
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ السَّبَبُ الَّذِى وَرَدَ ِلأَجْلِهِ الْحَدِيْثُ وَالزَّمَانُ الَّذِي جَأَفِيْهِ.[11]
Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan itu”.

Penting diketahui, karena itu ini menolong kita dalam memahamkan hadits, sebagai ilmu Asbabun Nuzul menolong kita dalam memahamkan al-Qur’an.
Ulama yang mula-mula menyusun kitab ini ialah Abu Hafash ‘Umar ibn Muhammad ibn Raja al-Ukbary, dari murid Ahmad (309 H). Dan kemudian ditulis pula oleh Ibrahim ibn Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah al-Husainy (1120 H), dalam kitabnya al-Bayan wat Ta’rif yang telah dicetak tahun 1329 H.

Ilmu talfiqil hadits ialah :
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنِ التَّوْقِيْفِ بَيْنَ اْلأَحَادِيْثِ الْمُتَنَاقِضَةِ ظَاهِرًا.[12]
Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antara hadits-hadits yang berlawanan lahirnya”.
Dikumpulkan itu adakala dengan mentakshishkan yang ‘amm, atau mentaqyidkan yang mutlaq, atau dengan memandang
banyak sekali terjadi.Ilmu ini juga dinamai dengan ilmu mukhtaliful hadits. Di antara para ulama besar yang telah berusaha menyusun ilmu ini ialah: al-Imam asy-Syafi’i (204 H), Ibnu Qutaibah (276 H), Ath-Thahawy (321 H) dan Ibnul Jauzy (597 H). Kitabnya bernama at-Tahqiq. Kitab ini sudah disyarahkan

Ilmu mushthalah ahli hadits ialah :
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَمَّااصْطَلَعَ عَلَيْهِ الْمُحَدِّثُوْنَ وَتَعَارَفُوْهُ فِيْمَا بَيْنَهُمْ.[13]
“Ilmu yang menerangkan pengertian-pengertian (istilah-istilah yang dipakai oleh ahli-ahli hadits”.
Ilmu yang mula-mula mengusahakan ialah Abu Muhammad ar-Rahamurmuzy (360 H). Kitab ini boleh dikatakan hampir lengkap isinya, sesudah itu barulah para ulama meluaskan gelanggang ilmu ini. Yang mula-mula mengusahakannya al-Hakim ibn Abdillah an-Naisabury.
Sesudahnya, Abu Nu’aim al-Ashbahany, kemudian datanglah Ahmad yang terkenal dengan sebutan al-Khatieb (463 H) lalu menyusun berbagai kitab dalam pengetahuan ini. Ulama-ulama yang datang sesudahnya, boleh dikatakan berpegang kepada kitab-kitabnya. yang datang


[1] T. Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis,  ibid, 111.
[2] DR. Mahmud Thahan, Mu’jam al Mushthalahul Hadis, huruf ‘Ain, Maktabah Syamilah, hal. 47
[3] Fathur Rahman, op cit, hlm. 74.

[4] Fathur Rahman, op cit, 77.
[5] T. Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis,  ibid, 113.
[6] T. Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis,  ibid, 115.
[7] T. Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis,  ibid, 119.
[8] T. Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis,  ibid, 119.

[9] T. Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis,  ibid, 120.

[10] T. Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis,  ibid, 121.
[11] T. Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis,  ibid, 121.
[12] T. Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis,  ibid, 122.
[13] T. Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis,  ibid, 122.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar