Rabu, 26 November 2014

Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kwantitas Rawi




 



Pembagian hadis berdasarkan kwalitas rawi  terbagi dua, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.  Hadis mutawatir terbagi lagi menjadi mutawatir lafdhi dan mutawatir maknawi. Sedangkan hadis ahad terbagi tiga, yaitu ahad masyhur, ‘aziz dan ahad gharib. Pengertianya adalah sebagai berikut :

A.     Hadis Mutawatir

المتواتر لغة: هو اسم فاعل مشتق من المتواتر أي التتابع، تقول تواتر المطر أي تتابع نزوله.اصطلاحا: ما رواه عدد كثير تٌحيل العادة تواطؤهم على الكذب.[1]
Kata Mutawatir adalah isim fa’il mustaq dari At-tawatur, artinya At tatabu (التتابع ) yaitu berturut-turut. Seperti engkau berkata : تواتر المطر   artinya تتابع نزوله hujan turun beriringan atau berturut-turut. Sedangkan menurt istilah mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi  yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka untuk bersepakat dusta.


ما رواه جمع يحيل العقل تواطئهم على الكذب عادة من أمر حسي, أو حصول الكذب منهم إتفاقا, ويعتبر ذالك ‏في جميع الطبقات ان تعددت.‏[2]
Hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap tingkatan sanadnya, yang menurut akal dan kebiasaan mereka tidak dimungkinkan untuk berdusta, dan dalam periwayatannya mereka bersandarkan pada panca indra. 

Berdasarkan definisi di atas, Ada empat syarat suatu hadits dikatakan mutawatir :
1.       Diriwayatkan oleh jumlah rawi yang banyak.
2.       Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
3.       Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol/bersepakat untuk dusta
4.       Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka : kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir
Hadits mutawatir terbagi menjadi dua bagian, yaitu Mutawatir Lafdhy dan Mutawatir Ma’nawi .
1.      Mutawatir Lafdhy
فالمتواتر لفظاً ومعنى: ما اتفق الرواة فيه على لفظه ومعناه.
مثاله: قوله صلّى الله عليه وسلّم: "من كذب عليَّ مُتعمداً فليتبوَّأ مقعدَه من النار"[3]
Mutawatir Lafdhi adalah apabila lafadh dan maknannya sesuai benar antara riwayat yang satu dengan yang lainya. Misalnya hadits: ”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) maka dia akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka”. Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.
2.      Mutawatir Ma’nawy
والمتواتر معنى: ما اتفق فيه الرواة على معنىً كلي، وانفرد كل حديث بلفظه الخاص[4]
Mutawatir maknawi adalah maknannya yang maknanya ada kesesuaian antara riwayat yang satu dengan yang lainya, sedangkan lafadhnya berbeda. Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo’a.
‘Ulama hadits masih berbeda pendapat tentang jumlah perawi, ada yang menetapkan dengan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Ulama yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, mereka berpatokan pada adat istiadat yang dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan para perawi yang mustahil mereka sepakat berdusta. Sedangkan ulama yang mensyaratkan adanya jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlahnya. 
Beberapa pendapat ulama tentang jumlah perawi yang harus ada adalah:
1)      Abu at-Thaiyyib, menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, diqiyaskan dengan banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk tidak memberi vonis pada terdakwah.‎ ‎ Ini didasarkan pada QS. 24. An-Nur : 13. 
2)      Ashab as-Syafi’i menentukan minimal 5 orang, diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapat gelar ulul azmi.‎ ‎ Juga ada yang berdasarkan pada permasalahan li’an, QS. 24. An-Nur : 6-9. 
3)      As-Suyuthy dan Astikhary menetapkan bahwa jumlah yang paling baik adalah minimal 10 orang, sebab bilangan itu merupakan awal bilangan banyak.‎ ‎ Pendapat inilah yang banyak diikuti oleh para muhaddisin.
4)      Ada pendapat lain yang mengatakan minimal 12 orang,‎ ‎ seperti jumlah pemimpin yang dijelaskan dalam firman Allah QS. 5. Al-Maidah : 12. 
5)      Ada sebagian ulama yang menetapkan 20 orang,‎ ‎ ini didasarkan pada QS. 8. Al-Anfal : 65. 
6)      Ada juga yang mengatakan minimal 40 orang,‎ ‎ ini didasarkan pada QS. ‎‎8. Al-Anfal : 64. 
7)      Ada juga yang menetapkan jumlah minimal 70 orang,‎ ‎ ini didasarkan atas firman Allah dalam al-Quran QS. 7. Al-A’raf : 155. 
Pada prinsipnya hadits mutawatir ini bersifat qath‘i al-wurud (sesuatu yang pasti benar-benar bersumber dari Nabi), maka keseluruhan dari hadits mutawatir adalah maqbul (diterima).

B.     Hadis Ahad

لغة: الآحاد جمع أحد بمعني الواحد، وخبر الواحد هو ما يرويه شخص واحد. اصطلاحاً: هو ما لم يجمع شروط المتواتر[5]
Ahad menurut bahasa mempunyai arti “satu”.  Dan khabarul-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan Hadits Ahad menurut istilah adalah “hadits yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir”.  Hadits ahad terbagi menjadi 3 macam, yaitu : Masyhur, ‘Aziz, dan Gharib.
لغة : هو اسم مفعول من " شَهَرْتٌ الأمر " إذا أعلنته وأظهرته وسمى بذلك لظهوره .اصطلاحاً: ما رواه ثلاثة ـ فأكثر في كل طبقة ـ ما لم يبلغ حد التواتر[6]
Masyhur  menurut bahasa adalah “nampak”. Sedangkan menurut istilah, Hadits Masyhur adalah : “Hadits yang diriwayatkan oleh 3 (tiga) perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir’ Contohnya, sebuah hadits yang berbunyi :
حديث عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُول: إِنَّ الله لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا، يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً، فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا بغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا أخرجه البخاري. [7]
Hadis dari ‘Abdillah bin ‘Amrin bin ‘ash, dia berkata : Aku telah mendengar Rasulullah Saw. Bersabda : Sesungguhnya Allah tidak menahan ilmu dari manusia dengan cara merenggut tetapi dwngan cara mewapatkan para ‘ulama sehingga tidak lagi tersisa seorang alim. Dengan demikian orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, lalu ia di Tanya dan dia member fatwa tampa ilmiah, maka sesat dan menyesatkan. [HR. Bukhari].

لغة: هو صفة مشبهة من " عَزَّ يَعِزّ" بالكسر أي قَلَّ و نَدَرَ، أو من "عَزَّ يَعّزُّ" بالفتح، أي قوي واشتد .اصطلاحاً: أن لا يقل رواته عن اثنين في جميع طبقات السند[8]
‘Aziz secara bahasa artinya : yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat. Hadts ’Aziiz menurut istilah ilmu hadits adalah : “Suatu hadits yang diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan rawinya”. Contohnya : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ .[9]
Dalam hadis shahihnya Nabi saw. Bersabda : Demi dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaanya, tidaklah beriman diantara kamu sekalian sehingga aku lebih kau cintai daripada anaknya, bapaknya dan manusia seluruhnya.

لغة: هو صفة مشبهة، بمعنى المنفرد، أو البعيد عن أقاربه.
اصطلاحاً: هو ما ينفرد بروايته راوٍ واحد[10]

Gharib sifat musyabahat  secara bahasa berarti menyendiri atau jauh dari kerabatnya. Sedangkan Hadits Gharib secara istilah adalah : “Hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri”.
            Dan tidak dipersyaratkan periwayatan seorang perawi itu terdapat dalam setiap tingkatan (thabaqah) periwayatannya, akan tetapi cukup terdapat pada satu tingkatan atau lebih. Dan bila dalam tingkatan yang lain jumlahnya lebih dari satu, maka itu tidak mengubah statusnya (sebagai hadits gharib). Sebagian ulama’ lain menyebut hadits ini sebagai Al-Fard. Hadits gharib dibagi menjadi dua :
       i.            Gharib Muthlaq, disebut juga : Al-Fardul-Muthlaq; yaitu bilamana kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : ”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh ‘Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari ‘Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id.  Dalam gharib muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya sendiri meriwayatkan sebuah hadits.
      ii.            Gharib Nisbi, disebut juga : Al-Fardun-Nisbi; yaitu apabila ke-gharib-an terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut. Misalnya : Hadits Malik, dari Az-Zuhri (Ibnu Syihab), dari Anas radliyallaahu ‘anhu : ”Bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam masuk kota Makkah dengan mengenakan penutup kepala di atas kepalanya” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].  Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri. Dinamakan dengan gharib nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu.


[1] DR. Mahmud Thahan, Taisir Mushthalahul Hadis, maktabah Syamilah. Hlm. 11
[2] Asy-Syarif, Muhammad ‘Alawy, Al-Minhal al-Lathif  fi Ushulil Hadits. Maktabah Syamilah, hlm. 9.
[3] Muhammad Bin Shalih Al ‘Utsaimin, Mushthalahul Hadis, Maktabah Syamilah, hlm. 3.
[4] Ibid, hlm. 3
[5] DR. Muhammad Thalhan, Taisir Fimusthalahul Hadis, Maktabah Syamilah, hlm. 12.
[6] Ibid, hlm. 13
[7] .DR. Mahir Yasin Al Fuhul, ibid, juz 2 hal. 120.
[8] DR. Muhammad Thalhan, Taisir Fimusthalahul Hadis, Maktabah Syamilah, hlm. 14.
[9]. Imam Muslim, Shahih Musli, Kitab Iman, Bab Wujubi Mahabbati Allahi, Juz I,  hal 49, hadist no,178.
[10] Ibid, hlm. 14.

                                       


                          













Tidak ada komentar:

Posting Komentar