Pembagian
hadis berdasarkan kwalitas rawi terbagi
dua, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.
Hadis mutawatir terbagi lagi menjadi mutawatir lafdhi dan
mutawatir maknawi. Sedangkan hadis ahad terbagi tiga, yaitu ahad
masyhur, ‘aziz dan ahad gharib. Pengertianya adalah sebagai berikut :
A. Hadis Mutawatir
المتواتر لغة: هو اسم فاعل مشتق من المتواتر أي التتابع، تقول تواتر المطر أي
تتابع نزوله.اصطلاحا: ما رواه عدد كثير تٌحيل العادة تواطؤهم
على الكذب.[1]
Kata
Mutawatir adalah isim fa’il mustaq dari At-tawatur, artinya At tatabu (التتابع ) yaitu berturut-turut. Seperti engkau
berkata : تواتر المطر artinya تتابع
نزوله hujan turun beriringan atau
berturut-turut. Sedangkan menurt istilah mutawatir adalah hadis yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi
yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka untuk bersepakat dusta.
ما رواه جمع يحيل العقل تواطئهم على الكذب عادة من أمر حسي, أو
حصول الكذب منهم إتفاقا, ويعتبر ذالك في جميع الطبقات ان تعددت.[2]
Hadits
yang diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap tingkatan sanadnya,
yang menurut akal dan kebiasaan mereka tidak dimungkinkan untuk berdusta,
dan dalam periwayatannya mereka bersandarkan pada panca indra.
Berdasarkan
definisi di atas, Ada empat syarat suatu hadits dikatakan mutawatir :
1.
Diriwayatkan
oleh jumlah rawi yang banyak.
2.
Jumlah yang
banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
3.
Menurut
kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol/bersepakat untuk dusta
4.
Sandaran
hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka : kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti
itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat
dikatakan sebagai hadits mutawatir
Hadits
mutawatir terbagi menjadi dua bagian, yaitu Mutawatir Lafdhy dan Mutawatir Ma’nawi
.
1. Mutawatir
Lafdhy
فالمتواتر لفظاً ومعنى: ما اتفق الرواة فيه على لفظه ومعناه.
مثاله:
قوله صلّى الله عليه وسلّم: "من كذب عليَّ مُتعمداً فليتبوَّأ مقعدَه من
النار"[3]
Mutawatir
Lafdhi adalah apabila lafadh dan maknannya sesuai benar antara riwayat yang satu
dengan yang lainya. Misalnya hadits: ”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas
namaku (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) maka dia akan mendapatkan
tempat duduknya dari api neraka”. Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari
70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk
surga.
2.
Mutawatir
Ma’nawy
والمتواتر معنى: ما اتفق فيه الرواة على معنىً كلي، وانفرد كل حديث
بلفظه الخاص[4]
Mutawatir
maknawi adalah maknannya yang maknanya ada kesesuaian antara riwayat yang satu
dengan yang lainya, sedangkan lafadhnya berbeda. Misalnya, hadits-hadits
tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini telah diriwayatkan dari
Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. Dan
setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap
kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena
adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu
tentang mengangkat tangan ketika berdo’a.
‘Ulama
hadits masih berbeda pendapat tentang jumlah perawi, ada yang menetapkan
dengan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Ulama yang
tidak mensyaratkan jumlah tertentu, mereka berpatokan pada adat istiadat yang
dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan para perawi yang
mustahil mereka sepakat berdusta. Sedangkan ulama yang mensyaratkan adanya
jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlahnya.
Beberapa
pendapat ulama tentang jumlah perawi yang harus ada adalah:
1)
Abu
at-Thaiyyib, menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, diqiyaskan dengan
banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk tidak memberi vonis
pada terdakwah. Ini didasarkan pada QS. 24. An-Nur :
13.
2)
Ashab
as-Syafi’i menentukan minimal 5 orang, diqiyaskan dengan jumlah
para Nabi yang mendapat gelar ulul azmi.
Juga ada yang berdasarkan
pada permasalahan li’an, QS. 24. An-Nur : 6-9.
3)
As-Suyuthy
dan Astikhary menetapkan bahwa jumlah yang paling baik adalah
minimal 10 orang, sebab bilangan itu merupakan awal bilangan banyak.
Pendapat inilah yang banyak diikuti oleh para muhaddisin.
4)
Ada pendapat
lain yang mengatakan minimal 12 orang, seperti
jumlah pemimpin
yang dijelaskan dalam firman Allah QS. 5. Al-Maidah : 12.
5)
Ada sebagian
ulama yang menetapkan 20 orang, ini
didasarkan pada QS. 8. Al-Anfal : 65.
6)
Ada juga yang
mengatakan minimal 40 orang, ini
didasarkan pada QS. 8. Al-Anfal : 64.
7)
Ada juga yang
menetapkan jumlah minimal 70 orang, ini
didasarkan atas
firman Allah dalam al-Quran QS. 7. Al-A’raf : 155.
Pada
prinsipnya hadits mutawatir ini bersifat qath‘i al-wurud (sesuatu yang pasti
benar-benar bersumber dari Nabi), maka keseluruhan dari hadits mutawatir adalah
maqbul (diterima).
B. Hadis Ahad
لغة: الآحاد جمع أحد بمعني الواحد، وخبر الواحد هو ما يرويه شخص
واحد. اصطلاحاً: هو ما لم يجمع شروط المتواتر[5]
Ahad
menurut bahasa mempunyai arti “satu”.
Dan khabarul-wahid adalah
khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan Hadits Ahad menurut istilah adalah “hadits yang belum memenuhi
syarat-syarat mutawatir”. Hadits ahad
terbagi menjadi 3 macam, yaitu : Masyhur,
‘Aziz, dan Gharib.
لغة : هو اسم مفعول من " شَهَرْتٌ
الأمر " إذا أعلنته وأظهرته وسمى بذلك لظهوره .اصطلاحاً: ما رواه ثلاثة ـ
فأكثر في كل طبقة ـ ما لم يبلغ حد التواتر[6]
Masyhur menurut bahasa adalah “nampak”. Sedangkan
menurut istilah, Hadits Masyhur
adalah : “Hadits yang diriwayatkan oleh 3 (tiga) perawi atau lebih pada setiap
thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir’ Contohnya, sebuah
hadits yang berbunyi :
حديث عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ
الْعَاصِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُول: إِنَّ الله
لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا، يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلكِنْ
يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا،
اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً، فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا بغَيْرِ عِلْمٍ،
فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا أخرجه البخاري. [7]
Hadis dari
‘Abdillah bin ‘Amrin bin ‘ash, dia berkata : Aku telah mendengar Rasulullah
Saw. Bersabda : Sesungguhnya Allah tidak menahan ilmu dari manusia dengan cara
merenggut tetapi dwngan cara mewapatkan para ‘ulama sehingga tidak lagi tersisa
seorang alim. Dengan demikian orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang
bodoh, lalu ia di Tanya dan dia member fatwa tampa ilmiah, maka sesat dan
menyesatkan. [HR. Bukhari].
لغة: هو صفة مشبهة من " عَزَّ يَعِزّ" بالكسر أي قَلَّ و
نَدَرَ، أو من "عَزَّ يَعّزُّ" بالفتح، أي قوي واشتد .اصطلاحاً:
أن لا يقل رواته عن اثنين في جميع طبقات السند[8]
‘Aziz secara
bahasa artinya : yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat. Hadts ’Aziiz menurut istilah ilmu hadits adalah : “Suatu hadits
yang diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan rawinya”. Contohnya :
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
وَاَلَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ
وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ .[9]
Dalam hadis shahihnya Nabi saw. Bersabda : Demi dzat yang jiwaku
berada dalam kekuasaanya, tidaklah beriman diantara kamu sekalian sehingga aku
lebih kau cintai daripada anaknya, bapaknya dan manusia seluruhnya.
لغة: هو صفة مشبهة، بمعنى المنفرد، أو البعيد عن أقاربه.
اصطلاحاً:
هو ما ينفرد بروايته راوٍ واحد[10]
Gharib sifat
musyabahat secara bahasa berarti
menyendiri atau jauh dari kerabatnya. Sedangkan Hadits Gharib secara istilah
adalah : “Hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri”.
Dan
tidak dipersyaratkan periwayatan seorang perawi itu terdapat dalam setiap
tingkatan (thabaqah) periwayatannya, akan tetapi cukup terdapat pada satu
tingkatan atau lebih. Dan bila dalam tingkatan yang lain jumlahnya lebih dari
satu, maka itu tidak mengubah statusnya (sebagai hadits gharib). Sebagian ulama’ lain menyebut hadits ini sebagai Al-Fard. Hadits gharib dibagi menjadi dua :
i.
Gharib
Muthlaq,
disebut juga : Al-Fardul-Muthlaq;
yaitu bilamana kesendirian (gharabah)
periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : ”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada
niatnya” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Hadits
ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini
diriwayatkan oleh ‘Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari
‘Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim.
Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin
Sa’id. Dalam gharib muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang
shahabat hanya sendiri meriwayatkan sebuah hadits.
ii.
Gharib
Nisbi,
disebut juga : Al-Fardun-Nisbi; yaitu
apabila ke-gharib-an terjadi pada
pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadits yang
diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian
dari semua perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang
mengambil dari para perawi tersebut. Misalnya : Hadits Malik, dari Az-Zuhri
(Ibnu Syihab), dari Anas radliyallaahu
‘anhu : ”Bahwa Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam masuk kota Makkah dengan mengenakan penutup kepala di atas
kepalanya” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri. Dinamakan dengan
gharib nisbi karena kesendirian
periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu.
[1] DR. Mahmud Thahan, Taisir Mushthalahul Hadis, maktabah
Syamilah. Hlm. 11
[2] Asy-Syarif, Muhammad ‘Alawy, Al-Minhal al-Lathif fi
Ushulil Hadits. Maktabah Syamilah, hlm. 9.
[3] Muhammad Bin Shalih Al ‘Utsaimin, Mushthalahul Hadis, Maktabah
Syamilah, hlm. 3.
[4] Ibid, hlm. 3
[5] DR. Muhammad Thalhan, Taisir Fimusthalahul Hadis, Maktabah
Syamilah, hlm. 12.
[6] Ibid, hlm. 13
[7] .DR. Mahir Yasin Al Fuhul, ibid, juz 2 hal. 120.
[8] DR. Muhammad Thalhan, Taisir Fimusthalahul Hadis, Maktabah
Syamilah, hlm. 14.
[9]. Imam Muslim, Shahih Musli, Kitab Iman, Bab Wujubi Mahabbati
Allahi, Juz I, hal 49, hadist no,178.
[10] Ibid, hlm. 14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar